Tuesday, October 9, 2012

College

When I'm in high school, I really want to go to college because I think it's wonderful, it's great, and it's excited. But now I realize college isn't that good and it's like a crap, high school really is a fairytale, and college is a folktale, where everything turns into nightmare. When you're in high school, you might be a shark or a whale but when you're in college you're will be such a clownfish. You need to realize that college is a miniature of real life, you will need social link, moneys, and stuffs.
College isn't bad at all, but sometimes it can be such a huge crap in life, where the professors so killy and your friends is like from all around the world. College is about competency. For the social link, you can join student activities but you have to had a strong mental like a metal. You will be faced by a lot of obstacle and sometimes you will feels like you want to give up and end the things that you really hate.
For the professor taking out you need to study harder than you did in high school, but have you imagine that you're a machine that created by God? Well, if you feel so, the you have to maximize that thought and put it on you work. It's like you need to read more but you have to act more in the same time. It seems so hard, but after you fall you will always try to stand up and run again, it's pain in the ass. You will need part time work to fill your pocket, you will need to down to earth if you're nothing there or you're an outsider like me, it suck, yes it is.
Your life will full of homework, you will be invisible or it suits you, and you will trough a lot of obstacles. You need to close to God and stand with Him in any condition. You have to be an independent person, you can't be such a relying person that attach to everyone and like a remora fish.
But, once you succeed in college that means you've already work so hard and you get what you seed. So to all human that will go to college, be prepare!

Xo

Tuesday, June 19, 2012

Is Malaysia Going To Win(again)?


Looks like Indonesia vs Malaysia cold war still going on and today we know that Malaysia is turning up the heat (again). This time, Malaysia will claimed Tor-Tor and Gondang Sembilan as their culture, what's Indonesian reaction?
Well, as usual after the fire lit Indonesian start to act. As we known that Tor-Tor is Batak's traditional dancing, but unfortunately there are few  of teenagers at Indonesia that doesn't even know (until know). Let's keep it simple, Indonesian teenager is on under attack of Korean Pop (K-Pop) and lately by GaGa (seriously people?).
Indonesian start their sympathy by make a hashtag on Twitter #TorTorPunyaIndonesia. Many teens tweet that so the can show their nationalism (even it's a little late). And as usual, Malaysian keep resist and going to claimed it. Did you guys think that Malaysia will win (again) this time?
Let's face the truth that Indonesian teenager (except me and some people)  are to focus on Korean thing. This is a WAKE UP CALL. We need to build our country, proud of our own culture and stop fanatized Korean thing. Seriously you guys, it's not worth it if we keep Koreanized our self but then you don't even realize that our culture is taken by Malaysia. We need to known every culture in Indonesia and if we must we must showed the to the public about those culture, so they will know and the world will know too!

But, I want your opinion about K-Pop invade our country on the comment. It's free for you to use your own language.

Xo

Monday, June 18, 2012

Puzzle

Chapter 4
Hell-O Power…!

Aku bangun dengan rasa bingung, entah kenapa kejadian malam kemarin sangat aneh. Tapi aku percaya itu terjadi. Harus. Entah mengapa meskipun aku selalu berpikir hal itu absurd tapi aku merasa itu nonabsurd. Setidaknya.
Matahari bebas masuk ke ruanganku. Dan aku melihat langit yang cerah. Pemandangan yang sukar didapat di kota kecil ini. Ibuku libur kerja, aku bisa mendengar suara dapur yang jarang sekali terdengar di bawah. Setelah mencuci muka aku segera turun ke bawah.
“Hai mum.”
“Hai Al. Bagaimana tidurmu? Kau pulang jam berapa semalam? Ibu tidak sempat melihatmu semalam, kerja lembur benar-benar membuatku lelah. Haaaaahh….”
“Nyenyak, aku pulang tidak terlalu larut. Ya aku melihat ibu di kamar tertidur sambil mendengar lagu grup band Machiato.”
Ibuku hanya melirik tersenyum. Macchiato. Grup band yang sudah ketinggalan jaman, dengan lagu slow mereka yang mampu membuatmu kembali menjadi orang tua membosankan dengan kutil di bokong. Lagu kenangan mum dan dad. Dulu.
“Oh Al, bisa kau carikan pin ibu yang hilang?”
“Pin? Dimana ibu menghilangkannya?”
“Ibu takkan bertanya jika ibu tau. Cepat ya, ibu mau pergi belanja dengan teman-teman ibu.”
“Ok.”
Akupun segera meninggalkan dapur dan pergi ke ruang tengah. Kucari disana-sini tapi tetap tidak ada. Bahkan di bawah kursi sekalipun. Aku mulai focus pada pencarian pin. Benda kecil. Tiba-tiba saja aku melangkah ke dapur. Lagi. Dan menemukan pin di dekat mesin kopi. Aku tau itu disana. Entah darimana.
“Nih mum. Kau pasti malam lupa mengambilnya kembali.”
“Thank’s Al. Kau yang terbaik.”
“Dan hanya satu.”
Mum hanya tersenyum lembut dan segera pergi ke luar.
“Jangan lupa makan siang. Aku tidak akan lama!” teriak mum dari luar.
Sekarang aku sendirian. Kenapa aku bisa menemukan pin itu? Aku merasa ada yang memberitahuku letak pin tersebut. Mungkin hanya keberuntungan saja. Sesekali aku melihat mobil lewat. Ada bus lollipop dengan wanita gemuk berpipi merah sedang memegang lollipop seperti microphone, dan di bawahnya bertuliskan “Lol is Sing. Sing is Lol”. Tak masuk akal. Yang tambah membuatku bosan yaitu seorang pedagang es krim yang sudah tua, dia sudah tua ketika aku masih bermain bola kecil. Dan sekarang aku mulai merasa kasihan padanya. Berani taruhan, dia belum punya istri. Hal itu terlihat dari cara dia memandang bokong perempuan tua yang senasib dengannya.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, yang kulakukan hanya menonton acara-acara yang kurang bermutu. Aku mulai merasa lapar, akupun pergi ke dapur. Tapi aku tak menemukan makanan yang siap santap. Menyebalkan. Terpaksa aku harus membuatnya sendiri. Mungkin aku hanya akan membuat beberapa sosis dan bakso udang rebus. Masakan tergampang. Well, sebenarnya aku bias saja mampir ke café, tapi aku terlalu malas untuk pergi kesana. Akupun segera menyalakan kompor dan kubirakan air di panic mendidih. Sambil aku menunggu aku pergi ke atas untuk mengambil handphone-ku.
Sesampainya diatas aku tidak bisa menemukan benda yang kucari. Tiba-tiba aku melihat seseorang berdiri di depan gerbang rumahku, aku melihatnya melalui jendela kamarku. Dia seumuran denganku, berambut putih. Dia meliriku dan tersenyum dingin, lalu segera berbalik dan pergi.
Satu hal yang membuatku tertarik. Dia ada dalam mimpiku. Si mata merah biru. Abellio. Entah mengapa aku mengingatnya.
Tiba-tiba aku mencium bau gosong. Seketika aku teringat kompor yang aku nyalakan di bawah tadi. Akupun segera berlari ke bawah. Dan memang benar, api sudah menjalar kemana-mana. Aku berpikir sejenak, darimana api itu dating? Aku merasa tadi tidak ada benda yang dapat memicunya.
Akupun segera menghubungi pemadam kebakaran. Tetapi nihil, tidak ada koneksi untuk menelpon. Aku bingung, lalu aku segera berlari ke kamar mandi dan menyiram api. Nihil. Api terlalu besar. Sekarang aku berada di tengah api, aku tak bias keluar. Panas, pengap. Akupun berteriak minta tolong. Nihil. Apakah kebakaran ini tidak ada yang bias melihat?
Api semakin membesar. Aku semakin bingung dan takut. Jujur. Tak lama kemudian aku mendengar sesuatu pecah melepas ke udara. Aku mulai mendengar suara orang-orang diluar. Ramai. Diantara suara itu aku mendengar suara ibuku memanggilku dan orang lain untuk membantu memadamkan api. Aku bisa mendengar suara api yang bereaksi dengan air. Api terlalu besar, tak bisa di padamkan. Hidupku berakhir disini, setidaknya itu yang terlintas di benakku. Aku berteriak dalam hati, “Api, padamlah. Aku belum ingin mati.” Aku terus mengulang kata itu dalam hati dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu takut untuk mati.
Aku pejamkan mata, lalu aku mengatakan kalimat itu lagi.
Aku bisa mencium bau obat, menyengat sekali. Mataku terpejam, bau itu memaksaku untuk bangun, kubuka mataku secara perlahan dan mataku terasa perih, kupejamkan kembali secara spontan. Kudengar suara bisikan orang-orang, bisikan mereka begitu lirih, diantara mereka ada suara ibuku yang mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
Akupun membuka mataku secara perlahan lagi, dan akhirnya mataku terbuka, aku dalam posisi tidur, kulihat lampu putih terang.
“Dia sudah sadar.”
Itu suara ibuku, terdengar gembira dan langsung menghampiriku disusul beberapa orang di belakangnya, Rio dan ibunya Areshma Eclat. Areshma adalah perempuan berambut pirang dengan mata berwarna hijau cerah, tubuhnya ramping dan kulitnya cerah.
Ibu langsung memeluku.
“Syukurlah kau tak apa-apa, lain kali hati-hatilah!”
Aku hanya tersenyum pahit, entah kenapa perasaanku agak kurang enak, mungkin ini akibat rasa bersalahku.
“Ibu, bagaimana rumah kita?”
“Oh, mungkin Rio bisa menceritakannya. Ibu pingsan, karena terlalu khawatir.”
Akupun melirik pada Rio.
“Rumahmu tidak apa-apa, bahkan pemadam kebakaranpun tidak membantu.”
“Tidak membantu? Tapi apinya padamkan?”
“Iya, padam tanpa air.”
“Apa maksudmu?”
“Begini Al…”
Tiba-tiba Areshma memotong pembicaraan.
“Valent, kau harus banyak istirahat dulu. Jangan terlalu dipikirkan kecelakaan tersebut. Setidaknya biarkan fisik dan mentalmu merasa damai.”
“Oh, baiklah kalau begitu.”
Akupun berbaring kembali, semuanya pergi membiarkanku untuk beristirahat. Aku masih bingung dengan apa yang Rio katakana, rasanya dia mengatakan bahwa api padam tanpa air. Intinya. Tapi aku tidak mau memikirkan hal rumit dulu. Aku pejamkan mataku lagi. Aku masih ingin tidur, aku lelah…
***
Tak terasa hari sudah malam, aku tidak bisa tidur lagi, tidur selama 15 jam (kurang lebih) benar-benar membuat mataku perih untuk memejamkan mata kembali. Aku melihat keluar melalui jendela, bulan bersinar terang. Tanpa bintang. Hanya ada awan malam yang menyelimuti bulan. Akupun beranjak dari tempat tidurku, lebih mendekat ke jendela. Cahaya ruangan hanya dipenuhi cahaya bulan, aku sengaja mematikan lampu. Aku suka gelap.
Kubuka jendela lebar-lebar, kurasakan angin malam yang masuk ke ruanganku, terasa sejuk sekali.
“Valent…” bisik suara yang entah darimana.
Akupun membalikan badan. Tidak ada siapa-siapa.
“Valent Bloodworth…”
Aku semakin kalut, galau tidak tahu siapa dan darimana asal suara itu.
“Hebat juga gelagatmu, Valent…”
Kini aku melihat sosok asal suara itu, tepat sedang duduk di sofa dengan santai, orang berjubah hitam, bermata merah biru, Abellio. Aku agak terkejut, tapi aku sudah merasa agak terbiasa dengan hal ini.
“Bagaimana kau bisa masuk?” sebenarnya aku juga sadar, pertanyaan dramatisir.
“Kau tak perlu tau bodoh.”
“Apa maumu? Aku melihatmu sebelum kebakaran!”
“Tapi kau berhasil memadamkannya.”
“Apa maksud…”
Tiba-tiba aku dikelilingi oleh asap tebal berwarna hitam pekat.
“Hentikan Umbra, dia belum ‘sempurna’.”
Tiba-tiba dari asap tersebut ada tonjolan yang membentuk seperti bola dan akhirnya mebentuk menjadi kepala manusia. Aku dapat melihat matanya yang putih pekat dari asap tersebut. Hanya asap. Aku susah bergerak.
“Oh, dan seharusnya kau tidak mengatakan hal itu, Abe…”
Sosok itu menyeringai jahat. Suara itu yang memanggilku tadi. Menyeramkan. Kemudian sosok asap tersebut menjauh dariku dan menghampiri Abellio, lalu duduk di sampingnya. Asap itu memadat, sekarang asap itu berbentuk manusia, dan akhirnya asap itu memang manusia. Seumuran dengan Abellio, matanya putih pekat, kulitnya coklat, rambutnya bewarna biru gelap pekat dan dia mempunyai sayap kecil di belakang, sayap itu berwarna hitam, sayap seperti iblis.
“Aku heran kenapa Lord memilih anak ini, aku bahkan tidak bisa merasakan kegelapan dalam dirinya.”
“Belum, mungkin. Tapi setidaknya kita menghormati Devina. Dia belum sempurna.”
“Lalu?”
“Saat dia sempurna…kau taulah.”
Aku hanya berdiri tegang tak mengerti, sinar bulan justru mendukung suasana aneh ini. Misterius.
“Hmm..bolehkah aku ikut dalam pembicaraan?” potongku mencairkan ketakutanku.
“Woaa, berani sekali dia berbicara seperti itu pada kita!?” kata si hitam, atau kalau tidak salah Abellio memanggilnya Umbra.
“Memangnya kita siapa? Biarkan saja, nanti dia akan jadi salah satu dari kita.” Balas Abellio dingin sambil beranjak.
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Ketika aku membuka mulut untuk berbicara, tiba-tiba Abellio memotong.
“Ayo Umbra, aku bosan.”
“Sudah mau pergi? Baiklah, baiklah…”
“Selamat tinggal, Valentino.”
“Bye Valent, pertemuan yang kurang berkesan.”
Lalu dalam sekejap mereka masuk dalam portal. Menghilang dalam kegelapan.
Aku tetap berdiri seperti orang bodoh yang baru melihat hantu. Kemudian aku berjalan perlahan menuju ranjang dan kembali dengan posisi orang sakit. Aku menyandarkan kepalaku di bantal, berusaha meyakinkan kalau kejadian tadi hanya khayalan semata, tidak nyata. Aku meyakinkan pada diriku kalau aku mengalami gangguan saraf, dan pada saat besok bangun aku akan menjadi manusia baru. Seutuhnya.

Change

Have you ever love someone so deep that you can't let them go?
Well, I never have, I always pretend that I have someone I love, but the fact is I don't have anyone. All I do is just pushing people from my life and I start to crawling to the tower of loneliness, let's say that I rid my own feeling because I know when I love someone it'd be hurt someday.
Let's get to the point now, if you feeling "so lonely", I have some tips for you.
1. Listen to your favorite music, if you really wants to be alone just search for a good song about being alone
2. Write your own story, at least it will make you feel that you're sharing (if you post it online since you're so unsocial)
3. Looking for an interesting activity, at least it will make you so busy
4. Find out about your own self.

I think number 4 is the hard thing to do, why? Because sometimes we're afraid to encounter our true self, because all this time we're so naive pretending  to be someone perfect (but contrary we don't have to). Why you're so scared about showing your true self? Because you want to be perfect or you're ashamed of your true color, no one to blame in this case. But it's better for you to show you true self to people around you, I mean they will know you and you will confident to your own self.
Look, you don't need to afraid of your true self, dark or bright it is still your part and it INSIDE of you! So, stop ignoring your naive and start to realize that "THIS IS ME" and love yourself and your life.
Maybe you ever lie about something to people around you, but isn't nice if you just tell them the truth and stop pretending?

Wednesday, June 13, 2012

Puzzle


Chapter 3
Lazy Evening, Start The Day

Suara burung terdengar begitu nyaring ditelinga, mengusik.
Pelan-pelan aku mulai membuka mata secara perlahan, sudah pagi. Ketika bangun aku merasa pusing, ugh. Semuanya serasa berputar, tapi segera berlalu ketika ku geleng-gelengkan kepalaku.
Apa yang sudah kulakukan?
Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi malam tadi, hal yang tak masuk akal. Ternyata kejadian itu hanya mimpi. Akupun menarik napas dalam-dalam. Lega. Tapi entah kenapa aku merasa menjadi manusia baru. Semuanya terlihat segar. Akupun tersenyum sambil pergi ke kamar mandi bersiap ke tempat paling membosankan di dunia.
Seperti biasanya, hari-hari sekolah begitu membosankan. Guru-guru konyol, teman teman menyebalkan, dan tentunya bau Ms. Scotty si juru masak makan siang. Tak ada yang menarik, kecuali tanda di lengan yang berbentuk huruf yang tak bisa ku mengerti, terlihat samar. Mungkin hanya bayangan saja.
Hari ini aku tidak melihat Vladimir bersaudara, entah kemana mereka pergi.
Well, hari ini terasa membosankan, memang seperti biasanya, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu.

Di tempat lain….

Di sebuah ruangan kecil, gelap dan hanya cahaya lilin yang samar menerangi, terlihat dua sosok yang sedang berdiri. Yang satu sedang berdiri mengahadap sosok yang membelakanginya. Disana terdapat kursi besar, hanya untuk satu orang. Tidak begitu jelas bagaimana sosok kursi tersebut, kursi raja.
“Bagaimana semalam? Uno?“ tanya sosok yang sedang menghadap ke jendela.
“Berjalan lancar, milord.“ jawabnya tenang dan penuh penghormatan.
“ Mmmm. Bagus. Dengan begini akan sesuai rencana kita.“
“Rencanamu, tepatnya.” Bantah Uno.
“Ya, rencanaku. Karena hanya aku yang mempunyai ide brilian seperti ini. Bahkan tidak kau! Hahahaha”
Tawa itu menggelegar di tempat tersebut. Bergema menyibak kesunyian. Sedangkan sosok yang di panggil Uno tersebut menatapnya dari belakang dengan tajam. Mata hitam dan putih tersebut terlihat siap menerkam. Dan senyum tipis mengembang. Ia membalikan badan dan berlalu melewati pintu yang terbuka sendiri dengan santai.

Sekarang…

Aku sudah sampai di rumahku, berjalan kaki dari sekolah. Ibu sedang tidur. Ia sakit, tidak terlalu parah memang tapi aku memaksanya untuk istirahat. Itu cara terbaik agar beliau tidak bertambah sakit.
Setelah berganti baju dan memakan spaghetti aku segera menuju garasi dan sedikti mengotak-atik motorku. Biasanya kupakai, tapi sekolah sedang melarang muridnya menggunakan motor. Menyebalkan. Mereka bilang agar tidak banyak polusi. Bagus.
Tak ada yang special hari ini, seperti biasa. Akupun mengunjungi Rio, rumahnya tak begitu jauh, hanya beberapa blok dari rumahku.
Sesampainya disana Rio sedang berada di teras rumahnya duduk santai.
“Yo!“
“Yo Al! Ada apa? Tumben kau datang?“
“Terserah. Ini mauku.“
“Hah, kau terlalu naïf  untuk mengatakan ‘aku rindu padamu Rio’. Hahaha. Ayo masuk.“
Akupun tersenyum jengkel dan segera masuk, entah kenapa setiap aku masuk ke rumah Rio aku selalu merasakan kedamaian. Nyaman.
Tibalah aku di dalam rumah, rumahnya cerah, di setiap sisi ada jendela yang mengarah keluar dan memberikan cahaya serta sirkulasi ke dalam. Disini sepi, orang tua Rio bekerja di departemen pemerintahan.
Akupun segera duduk di sofa empuk. Di sebelahku ada sebuah artifak berbentuk tabung berwarna putih dengan tulisan kuno yang rumit. Diatasnya ada tonjolan seperti siap dibuka, dan artifak itu berada dalam sebuah kaca. Dilindungi. Akupun terus mengamatinya.
“Itu milik Dad. Dia membawanya dari Milidian.“
“Milidian? Apa ini? Aku baru melihatnya.“
“Itu sebuah kota kecil yang takkan kau temukan. Hahaha. Itu namanya Arcus, benda magis yang mempunyai rahasia di dalamnya, tak ada yang bisa membukanya, di tempabk pun tak bisa.“
“Hmmm. Aku tak tertarik. Terserah.“
Kamipun berbincang-bincang tentang segala hal, sampai akhirnya aku menceritakan mimpiku pada Rio.
“Yang benar?“
“Ya benar, meskipun itu terdengar bohong tapi itu benar.“
“Aku membaca di buku kuno milik Dad tentang orang-orang yang ada mimpimu. Ciri-ciri yang kau katakan sama dengan yang ada dibuku, mereka adalah kelompok kuno yang mempunyai kekuatan supranatural.“
“Sihir?“
“Hampir mendekati, tapi kekuatan mereka mempunyai batasan.“
“Batasan?“ tanyaku mulai tertarik.
“Ya, misalnya kau mempunyai kekuatan angin, maka kau hanya akan bisa menguasai angin saja, kemampuan tersebut disebut nalune. Tetapi jika sihir kau bisa mengendalikan semuanya, meskipun levelnya lebih tinggi nalune.“
“Well, itu hanya omong kosong kupikir. Jadi aku tak peduli, tak ada urusannya denganku. Lagipula itu cumin mimpi.“
“Ya kau benar, mana mungkin ada hal seperti itu. Ha…“
Akupun segera pulang, hari sudah malam.
Jalanan sepi, hanya beberapa orang yang lewat, menara jam terlihat begitu indah pada malam hari, dengan bulan diatas ujungnya. Lekukan awan terlihat begitu lembut, tebaran bintang seperti kristal-kristal kecil yang ditaburkan di langit malam yang terang. Aku menikmatinya. Angin menyibak rambutku, tercium aroma bunga yang beristirahat. Harum.
Entah kenapa, aku merasa malam ini begitu damai. Kejadian ajaib itu seperti memang mimpi, meskipun seseorang bernama Zeus terasa begitu nyata. Akupun pulang menembus malam.
Seperti biasa, sesampainya dirumah aku membaringkan badanku di atas kasur. Terasa sejuk, karena cover kasur ini berbahan dingin, dengan aroma mint. Lucu. Kubuka pintu balkon dan kubiarkan angin masuk ke ruanganku. Tiba akupun terlelap dibuai sang malam…
Tak terasa hari sudah pagi, dan ini hari Sabtu, sekolah memang libur hari ini. Aku berniat pergi ke rumah Vladimir, karena sudah lama aku tidak melihat mereka berkeliaran di kota kecil ini.
Sesampainya aku di jalan tempat rumah keluarga tersebut tinggal, aku melihat sebuah rumah besar atau lebih tepatnya manor. Terkesan angker, dengan patung gargoyle diatas dua pilar bagian sisi gerbang. Ditengah gerbang terlihat ukiran unik. Aku bingung. Dimana mereka menyimpan belnya. Tiba-tiba saja gerbang terbuka dan aku terkesiap. Wow.
Pintu besar rumah itu terbuka lebar, dan seorang perempuan seusiaku keluar dengan senyum yang anggun. Aku terpana. Rambutnya berwarna coklat, sepinggang. Bajunya terkesan kuno tapi mewah.
Dan dibelakangnya aku melihat gadis yang tak aneh bagiku, Greta.
“Ternyata memang benar itu kau Valent.“ suara nyaringnya terdengar lagi.
Aku hanya menganggukan kepala sambil berjalan menghampiri mereka dengan santai melewati halaman yang besar dan indah. Menggambarkan bahwa rumah ini memang mewah. Tak seperti rumah lain dikota ini.
“Selamat datang Tuan Bloodworth. Perkenalkan namaku Santana Vladimir.“ sapa perempuan anggun itu. Sambil bersalaman denganku.
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk malu, sensasi ini begitu dahsyat, hangat. Tak seperti Greta yang dingin seperti es. Dia tahu nama belakangku, Bloodworth. Well, namaku Valentino Bloodworth. Aneh.
Begitu dipersilakan masuk, aku melangkah dengan sopan. Dalam rumah ini mengeluarkan aura aneh, terkesan seram. Banyak hiasan-hiasan yang terlihat kuno disini. Dan aku juga melihat tabung yang sama seperti di rumah Rio, hanya saja itu berwarna hitam.
“Apakah tabung itu dari Milidian?“ tanyaku penasaran.
“Milidian? Darimana kau tau kota kecil itu?“ tanya Santana dengan wajah serius. Aku terkejut.
“Oh itu. Temanku yang memberitahuku. Dia pasti bercanda bukan? Ha..“ jawabku gugup.
Santana terdiam sebentar dengan sorot mata tajan. Dan berbalik dengan dingin. Jelas, ia tak peduli. Aku juga.
“So, selamat datang Val. Aku tak menyangka kau nekat datang kesini.” Kata Greta.
“Well, ini akhir pekan bukan? Dan aku sudah lama tidak melihat kalian berdua.”
“Oh. Aku menemani Axel yang sedang sakit.”
“Bagaimana keadaanya sekarang?”
“Membaik. Tapi lebih bagus kau tidak mendatanginya. Dia sedang istirahat.”
“Ok. Aku hanya ingin tau keadaanya.”
Sampailah kami diruang keluarga yang sangat besar. Bergaya klasik, tetapi dengan beberapa perabotan elektronik. Seperti LCD, dan sebagainya. Kursi besar berada di depan TV. Tepat di sebelah kursi-kursi mewah tersebut ada kaca besar dan juga sebagai pintu untuk ke halaman samping. Tampak bunga-bunga yang indah, sebagian mereka ada yang layu. Dan aku melihat seekor srerigala. Wow.
“Itu serigala bukan?” tanyaku kagum.
“Iya.” jawab Greta riang.
Singkat. Lagipula aku tidak mau jadi orang yang menyebalkan yang suka bertanya.
Akhirnya aku dan Greta duduk bersebrangan, sedangkan Santana pergi ke dapur, membuatkan minuman. Serigala putih itu berjalan anggun kesana kemari di halaman rumah, sesekali memandang dingin kearahku, matanya berwarna merah darah, tajam. Entah kenapa, aku merasa tertarik kepada serigala itu.
“Bolehkah aku melihatnya lebih dekat?” kataku minta ijin kepada Greta. Tentu saja untuk melihat serigala itu.
“Oh. Kenapa tidak. Tapi dia tidak baik seperti yang kau kira lhoo..”
“Well. Aku kan tidak akan pernah tau kalau aku belum mencoba?” paksaku.
“Ha. Ok. Ayo sini.”
Akupun mengikuti Greta dari belakang. Akhirnya kami sampai didepan pintu yang terbuat dari kaca. Dengan lembut Greta membuka pintu, hampir tak terdengar suara yang berderit. Pada saat kami masuk, aku merasakan ketenangan. Serigala itu duduk di atas tangannya dengan tenang dan malas. Ia melirik ke arahku dengan pandangan sinis, tatapan dingin. Kemudian di memejamkan matanya sambil mengibaskan ekornya. Entah kenapa sensasi di taman ini lebih nyaman, dibandingkan di dalam rumah dengan patung setan yang menganga konyol.
“Nah ini dia, Silva.” Dengan riang Greta memperkenalkan serigala itu.
“Silva? Nama yang bagus untuk seekor serigala. Darimana kau mendapatkannya?”
“Ummm. Perburuan, ayahku menangkapnya.”
“Ngomong-ngomong dimana ayah dan ibumu? Aku merasa tak enak tanpa memperkenalkan diriku pada mereka.”
“Oh mereka sedang pergi ke Starion. Berkunjung ke rumah saudara. Kau tahu.”
“Oh ya, aku mengerti.”
Starion adalah kota besar yang menurut rumor kota itu terbentuk dari lekukan yang di buat oleh meteor jatuh.
Santana sudah selesai membuat limun dan kami pun segera ke ruang tengah.
“Disini sepi ya?” tanyaku polos.
“Ya, karena sekarang semua sedang pergi keluar kota.” Jawab Santana singkat.
“Dan kau tahu? Disini hanya ada tukang kebun yang setia melayani kami dengan jangka waktu yang lama. Hanya saja sekarang dia sedang tidur.” Tambah Greta.
“Well, apakah kalian tidak kesepian disini dengan hanya 3 orang? Maksudku, kalian kan perempuan dan tukang kebun itu…?”
“Kami sudah terbiasa. Silakan di minum limunnya.” Jawab Santana singkat.
Aku berani taruhan pasti pria tua itu memiliki banyak uban, dan raut muka membosankan. Atau apabila ia mengikuti gaya keluarga ini. Dia akan memakai pakaian rapi meski untuk berkebun.
Aku jadi penasaran, seberapa luas rumah ini. Karena kulihat masih banyak ruang-ruang lain.
Tak terasa matahari hampir tenggelam. Akupun pamit pulang.
Ketika aku sampai didepan gerbang dan menengok ke belakang, kulihat seseorang sedang duduk santai di atap rumah. Kupikir itu pencuri atau sebagainya. Tapi setelah kulihat dengan cermat sosok itu ternyata Axel. Akupun segera pergi meninggalkan tempat itu.
Aku berjalan sendirian, tanpa terasa matahari sudah tenggelam dan langit menjadi biru gelap. Saat aku melewati taman kecil, aku melihat seorang anak kecil yang rasanya tak asing bagiku. Dia ada di mimpiku. Ketika seorang perempuan yang hampir mencabiku menyebut namanya. Devina. Akupun menghampirinya dengan hati-hati.
“Halo?”
“……”
“Siapa disitu?”
“……”
Dia masih tetap diam, semakin aku mendekatinya semakin aku ingat siapa dia.
“Devina?”
“Ya.”
“Well, ternyata aku tidak mimpi waktu itu.”
“Sebentar lagi kau akan tau siapa dirimu sekarang.”
“Apa maksudmu? Apa arti kejadian malam itu? Siapa kalian?”
“Jangan terlalu banyak bertanya. Kau akan tau jika saatnya tiba. Lagipula aku sedang mencari udara segar. Dan akan  pulang sekarang.”
“Tunggu dul…”
Tiba-tiba sebuah portal muncul di belakangnya. Ia berbalik dan melangkah tenang, ketika ia sudah setengah masuk ia menoleh padaku.
“Valentino. Mulai sekarang kau harus mulai percaya pada hal yang kau anggap konyol.”
Aku hanya bisa bengong melihat dia masuk ke dalam portal gelap itu dan segera setelah itu portalpun lenyap.
Wow.

Puzzle


Chapter 2
Into The Absurd

Sesampainya disana, aku hanya melihat lapangan dan reruntuhan kosong, sepi, tidak ada siapa-siapa. Aku menengok kesana kemari, nihil. Aku mulai berpikir, mungkin ini hanya tipuan belaka? Tapi siapa orang itu? Akupun melihat kertas di tengah lapang dan segera berlari untuk mengambilnya sebelum tertiup angin. Saat kertas itu kuambil, ternyata kosong, meskipun aku membolak-baliknya sampai tanganku pegal, tetap saja kertas itu kosong.
Aku berdiri terdiam di tengah lapang, tengah malam dan sendirian. Jika kau mencari 10 besar orang terbodoh di dunia, maka kau akan melihat namaku paling atas, dengan rekor mau saja di bodohi datang ke reruntuhan kosong di malam hari!
Pikiranku mundur pada saat pertemuan dengan pria besar tadi, siapa dia? Apa maksudnya ini? Well, mungkin dengan pertanyaan seperti itu cerita ini tampak lebih seperti drama dengan aku sebagai pemeran utama yang histeris. Hentikan.
Tiba-tiba aku merasakan ada aura yang terasa aneh. Aura ini begitu membuai, aku serasa diterbangkan olehnya. Pada saat aku menoleh ke belakang, ternyata ada seorang perempuan berambut pirang sampai lutut kaki, badannya ideal. Ditambah dengan jubah hitamnya kesan misterius semakin terlihat. Siapa dia? Apa dia bagian dari rencana ini?
“Hm. Jadi ini pria yang disebut-sebut Devina. Apa spesialnya?“ katanya tajam, setajam pisau.
Aku melongo tak mengerti, tak mampu berbicara.
“Kau panggilan Zeus?“
“Zeus? Siapa dia?“ seingatku tidak ada nama Zeus dalam daftar nama konyolku.
“Bodoh.“
Kemudian aku teringat akan laki-laki tadi pagi, namanya Zeus. Tak diragukan lagi.
“So, apa yang bisa kau lakukan?“ tanyanya dingin.
“Yang bisa kulakukan? Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh.“
“Kau tidak tau mengapa kau dipanggil kesini?“ nadanya mengejek.
Aku semakin tegang, mata wanita berubah menjadi merah darah dengan hitam pekat di tengahnya. Tiba-tiba aku melihat sesosok lain dengan gaun hitam, anak perempuan dengan umur kira-kira 7 tahun. Matanya putih bening, tanpa ekspresi. Dan entah kenapa aku tidak bisa merasakan auranya, semuanya hampa. Anak perempuan itu memegang jubah si perempuan dan mengangguk pelan.
“Oh Devina, hampir saja aku menerkam anak itu. Yang lain sudah datang?“ nadanya berubah agak ramah, walau agak menyebalkan kedengerannya.
“Kau bodoh ya Aquilla. Dia masih mentah dan dia mempunyai ‘potensi’.” Kata seseorang yang suaranya agak aku kenal.
“Cih. Beraninya kau memanggilku bodoh.” balas Aquilla sinis.
“Terserah.” Balas Zeus. Aku tau begitu sosok besar itu terlihat.
Tiba-tiba aura sekelilingku merasa berubah drastic, entah kenapa beban itu terasa berat di pundakku. Beban apa? Aku tidak mengerti. Setelah sepersekian detik aku mulai bangkit mencoba menahannya. Sosok-sosok lain berdatangan.
Ya, mereka datang dari segala arah. Kira-kira jumlah mereka ada 11, dan aku melihat Zeus berjalan bersebelahan dengan seseorang yang lebih kurus darinya. Senyum Zeus mengembang jahat, sedangkan orang disebelahnya hanya terpejam sambil berjalan seirama.
Ada apa ini?
Sampai saatnya mereka datang dan mengelilingiku tidak beraturan. Apa mereka gangster? Apa salahku?
Tiba-tiba persis di depan pintu reruntuhan muncul sesuatu yang gelap dan membesar membentuk menjadi sebuah pintu tanpa pintu. Mengerti? Dalamnya sangat gelap, meski kau berusaha melihat dengan apapun akan tetap saja gelap. Seorang manusia keluar dari portal itu. Aku semakin tegang dan takut. Tak mengerti. Ingin rasanya hujan meteor datang ke tempatku berdiri dan hari ini akan berakhir.
Sosok itu semakin nyata. Memang nyata setelah portal itu meredup.
Ia memakai jubah putih, berbeda dengan yang lainnya. Rambutnya pirang disisir ke belakang, ekspresinya lurus, tak berperasaan. Matanya mempunyai dua warna, hitam dan putih pekat. Siapa dia? Atau lebih tepatnya apa dia? Senyumnya mengembang. Ditambah dia melayang diatas tanah.
“Jadi ini pilihanmu Lord?“ tanya Zeus.
“Ya. Ada masalah?“ jawabnya tenang setenang danau dingin yang dalam.
Zeus hanya mendesis dan aku semakin tidak mengerti. Aku belum siap mati. Oh sial, bahkan disaat klimaks seperti ini aku sempat berpikir akan mati. Ha!
“Apa spesialnya anak ini?“ tanya orang yang berada di dekat Zeus, dia seumuran denganku. 17 tahun. Lalu dia membuka hood-nya. Rambutnya berwarna putih dan saat membuka matanya aku terkejut, kedua mata itu merah dan biru, tatapannya kosong.
“Oh, tenanglah Abellio. Dia tak akan mampu menandingimu, atau belum. Haha..” ejek seseorang (lagi) yang berada di atas pohon oak. Masih memakai hood-nya. Dan aku mendengar anak yang dipanggil Abellio itu mendesis.
“Kita hentikan basa-basi ini?“ kata Lord (begitu panggil mereka) dingin.
Seketika itu juga tempat ini menjadi sepi, aku menelan ludah dengan susah payah. Kenapa aku takut? Mungkin karena mereka sekelompok orang aneh yang berusaha mempermainkan anak bodoh sepertiku. Entah kenapa rasa dingin begitu menusuk ketika Lord melayang ke arahku dengan anggunnya. Berani taruhan, dia pasti banyak menyimpan gaun perempuan di lemarinya. Tetap saja, meski aku berusaha membuat lelucon untuk menenangkan diriku yang panic tak terkira ini, itu tak berhasil. Sungguh.
Aku merapatkan kepalan tanganku dan menggertakan gigiku dengan rapat. Tegang. Aku memang bodoh. Keringat dingin bercucuran.
Aku terkesiap ketika Lord sudah berada di depanku. Matanya yang hitam-putih begitu tajam dan kosong.
Ia mengangkat tangan kanannya kearah dahiku. Dan menempelkannya. Terasa terjun kedalam kegelapan. Semuanya gelap. Aku terbawa arus air yang besar ke danau yang luas, gelap, dan dalam. Aku berpikir makhluk apa saja yang hidup disini?
Tiba-tiba kakiku di tarik oleh sesuatu ke dasar danau. Aku terkejut. Kenapa aku tak bisa berteriak, kenapa tak ada keinginan untuk berontak? Pada saat sedang meluncur kebawah tiba-tiba ada gua, gua yang bergerak. Atau lebih tepatnya mulut seekor ikan(?) yang amat sangat besar dan aku hanya melongo. Aku masuk kedalamnya.
Di dalam sini luas, terdapat berbagai macam tulisan yang tak ku mengerti di dindingnya. Lalu tulisan-tulisan itu bercahaya dan mulai lepas dari dinding menuju ke arahku yang sedang terapung tak berdaya, mengeliliku.
Dalam sekejap tulisan itu masuk ke dalam tubuhku, aku merasakan sensasi luar biasa. Tubuhku terasa panas, juga dingin. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya meronta. Rasanya seperti disengat dari luar dan dalam. Apa ini? Kepalaku serasa dibakar, sakit sekali.
Kilasan memori muncul seperti lampu yang terang dan redup dengan begitu cepatnya. Aku berlari didalamnya, berlari ketakutan tanpa arah di sebuah lapangan yang luas dan tak berujung. Kenapa aku berlari? Dimana ini? Apa yang terjadi?
Aku masih meronta kesakitan, pakaianku robek dan hilang dalam ketiadaan. Aku mengejang, tak kuat menahan rasa sakit. Seketika itu juga aku terlempar keluar dari mulut makhluk itu, meluncur dengan kecepatan turbo ke permukaan. Dan ketika aku berada di udara aku tetap terapung di udara yang hampa dan sunyi, ketika aku membuka mata aku melihat titik cahaya kecil di langit, semakin membesar dan menuju ke arahku. Aku panik, tapi tak ada niat untuk menghindar, kubiarkan cahaya itu menembakku.
Badanku terasa hangat, nyaman. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhku dengan cepat, semuanya. Tiba-tiba cahaya keluar dari semua celah tubuhku, disusul dengan kegelapan yang keluar dari tubuhku dan berbaur dengan cahaya itu. Semuanya lenyap. Terasa sesak, sakit dadaku, terlalu sakit. Aku tak bisa bernapas. Gelap….

Friday, June 8, 2012

Puzzle

Chapter 1
Common

Hujan mengguyur tubuhku, aku masih berlari dengan tergesa-gesa melewati menara jam. Jampun berdenting dan menunjukan pukul 6, menuju malam. Aku masih berlari, takut hujan membesar. Akhirnya aku sampai di sebuah tempat, bau makanan sudah tercium. Café. Aku mengusap wajahku yang basah dan segera masuk kesana.
Disini sepi, hanya ada beberapa orang saja, saat aku masuk semua orang melihatku dan menyantap makanan mereka lagi. Aku langsung menuju meja yang biasa menjadi tempat duduku, diujung. Kulihat seorang pelayan perempuan berjalan menghampiriku dengan senyuman lebar. Akupun membalas senyumnya.
“Halo, Al. mau pesan apa?“ tanyanya.
“Mmmm….kayak yang biasa aja deh.“
“Ok.”
Ia pun pergi dengan senyumnya yang lebar. Ya, semua pelayan disini sudah tau makanan favoritku, roti vanilla krim vanilla dan milkshake vanilla hangat. Aku suka vanilla. Aku sudah mencium baunya, membuat air liurku semakin cair dan perutku semakin terasa lapar.
Aku melihat sekeliling dan ada dua orang yang menarik perhatianku, mereka duduk sama sepertiku di sudut ruangan, tempat yang tepat untuk menyendiri, tapi mereka berdua. Akupun ingat, mereka adalah penduduk baru di kota kecil ini. Air muka mereka pucat pasi, tanpa expresi, aura mereka hitam pekat. Aku bisa melihat aura orang lain. Tapi aku merasakan satu hal yang berbeda dari mereka, tidak biasa. Aku terus memandang mereka dengan tajam, mreka melihatku dengan menyeringai. Bola mata mereka hitam pekat. Akupun meronjat ketika pelayan itu datang membawa pesanan.
“Owh, thanks.“
“Ok. Dari tadi kau memandangi Vladimir bersaudara.“
“Owh, ya. Mereka baru pindah dari Midwest kan.“
“Ya, seperti kau tau orang tua mereka adalah penduduk asli kota ini. Mereka begitu awet muda, semua orang begitu iri pada keluarga Vladimir.”
“Anyway, siapa nama mereka?“
“Laki-laki berambut merah bernama Axel Vladimir dan yang perempuan bernama Greta Vladimir.“
“Ok, thanks buat infonya.“
“Ok. Panggil saja kalau kau membutuhkan sesuatu.“
Aku mulai menyantap makananku, akupun melirik ke kaca dan melihat hidungku memerah, ya hidungku selalu memerah ketika aku kedinginan. Hujan semakin deras dan langit semakin gelap. Kakak beradik itu memandangku dan aku balas dengan senyuman kaku, aku memang tak biasa senyum kepada orang asing, tapi mereka berbeda.
Aku sempat berpikir mungkin kita bisa berteman. Aku tak pernah punya teman. Aku memang penyendiri. Makananku habis, jam menunjukan pukul 7.30 akupun meninggalkan uang untuk bayarannya dan pergi meninggalkan tempa itu. Saat kulihat sudut tempat kakak beradik Vladimir duduk mereka sudah pergi. Aku tak begitu mempedulikannya dam segera pergi. Hujan masih deras, kabut menghalangi pandanganku. Aku melihat sihulet seseorang di perempatan, sosok itu berdiri tegap, tingginya sama denganku, matanya merah menyala. Merah. Aku terperanjat, aku menggosok-gosok mataku.
“Halo..? Siapa disana?“ teriaku di tengah kabut tersebut. Mungkin karena hujan terlalu deras suaraku tidak mungkin terdengar olehnya.
Aku menggosok mataku lagi. Saat kubuka mataku, sosok itu hilang. Halusinasi.
“Hai…!“
Aku kaget mendengar seseorang menyapaku dari belakang. Greta.
“Oh, hei. Kukira kau sudah pulang dengan kakakmu.“
“Belum, Axel sedang pergi ke suatu tempat. Apa yang kau lakukan disini Al?“
“Well, aku..tunggu darimana kau tau nama panggilanku?“
“Ups..tadi aku tidak sengaja mendengar pelayan di toko itu memanggilmu dengan nama itu.“
“Oh, yea. Hei apa kau…”
“Ayo Greta, kita pulang.“
Tiba-tiba Axel datang dari belakang Greta dan mengajaknya pulang.
“Oh, Axel. Kau hampir membuat jantungku copot. Haha….“
“Ayo.”
“Ok. Dah Al. kita bertemu besok di sekolah.“
Akupun melambaikan tangan dan mulai berbalik. Aku mulai menyadari kata-kata Greta, “….bertemu besok di sekolah.” Itu artinya mereka akan pergi ke sekolahku bukan?
Sesampainya di rumah aku membaringkan badanku di ranjang. Sekejap terasa aura kakak beradik Vladimir. Berbeda. Hujan semakin deras, akupun menutup jendela, sebelum kututup aku melihat sihulet lagi, berdiri di ujung menara jam, diatas. Aku terdiam dengan heran, nyata atau halusinasi? Dalam sekejap bayangan itu hilang seperti dibawa angin. Akupun segera menutup jendela dan berlari kecil ke ranjang, aku masih kurang percaya. Tak peduli. Aku membaringkan badanku, lelah. Aku terbuai mimpi, terlelap dalam kegelapan, dalam.
Ketika pagi datang, aku terbangun dengan sinar matahari menyorot mataku. Aku benci matahari. Tidak biasanya kota ini disinari matahari, di tambah ini hari Senin. Pasti semua orang akan membicarakan tentang hari yang cerah ini. Trending topic. Setelah aku mandi dan berpakaian, aku segera menyantap sarapan yang sudah ada di meja makan. Well, mum pasti sudah berangkat kerja tadi pagi-pagi sekali.
Aku langsung pergi ke sekolah setelah menyantap habis sandwich tadi. Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan orang yang biasa kutemui. Ironis. Rasanya kau berkubang di lumpur yang sama setiap detik, membuatmu jenuh. Dan matahari ini menyebalkan, berani bertaruh, sebelum matahari mencapai titik terang, pasti awan gelap sudah menutupinya. Aku mencari dua bersaudara yang kutemui tadi malam, Vladimirs. Tapi mereka tidak kelihatan, apakah Greta hanya bercanda? Well, sebenarnya aku tak terlalu peduli.
Aku tak punya banyak teman, atau lebih tepatnya aku tidak suka berteman. Pertemananku terakhir? Buruk. Aku cenderung mendorong semua orang ke jurang dikehidupanku dan pada akhirnya hanya aku yang bisa berdiri di tepi. Atas kehendaku.
Sebenarnya aku punya satu sahabat.
“Valent! Bagaimana akhir pekanmu?“ tanya suara yang sudah kukenal.
“Oh, Rio. Well, seperti biasa, kau tau. Lalu bagaimana kunjunganmu ke rumah kakekmu?“
“Dia baik-baik saja. Tapi kau tidak akan percaya! Dia bilang aku mempunyai darah penyihir murni dari orang tua ibuku dan orang tuanya orang tua ibuku dan…“
“Ok, ok. Kenapa tak kau singkat saja, buyutmu? Atau setidaknya nenek moyang?“ potongku dengan jengkel.
“Aku hanya suka bermain kata kau tahu? Jadi apa kau percaya apa yang kubicarakan tadi?“ katanya sambil melirik penuh harap.
“Ok, tidak ada yang tidak mungkin.“ jawabku datar.
“Urgh, kau selalu saja begitu. Tak menarik.“
Obrolan kami berlanjut sambil berjalan ke kelas. Aku dan Rio sudah berteman bahkan sejak dalam kandungan. Bercanda. Tapi sebenarnya kami dua manusia yang berbeda dalam berbagai hal. Aneh. Ya, bahkan orang-orang selalu bertanya kenapa kami bisa seperti itu. Keajaiban? Mungkin. Dia sudah kuanggap sebagai saudaraku. Tidak ada rahasia.
Pelajaran begitu membosankan untuk dipelajari hari ini. Karena cuaca cerah. Membuatku malas setiap melihat keluar, matahari. Dan akhirnya awan menutup matahari dengan auranya yang menandakan akan turun hujan.
Tepat setelah pelajaran selesai, gerimis mulai turun. Dan kulihat kakak beradik Vladimir di seberang jalan. Greta melambaikan tangannya dengan girang padaku, sedangkan Axel diam seperti patung. Misterius. Akupun berlari menghampiri mereka.
“So, dimana kalian sekolah?“ tanyaku dengan nada agak datar.
“Benarkan kataku Ax? Dia pasti mencari kita, aku sudah…”
“Ya aku tahu. Lebih baik kita tidak usah membahasnya oke? Kau tidak mau membuat anak ini ketakutan bukan?“ potong Axel dingin.
Oh, kalian tidak usah menganggapku ada. Teriakku dalam hati.
“Halo? Jadi dimana kalian sekolah?“ dengan nada agak menekan.
“Disini.” Jawab Axel singkat.
“Disini, maksudmu disini?“
“Ya disini Valent!“ jawab Greta dengan suaranya yang nyaring.
“Tapi kemana kalian tadi? Maksudku, aku bahkan tidak melihat kalian.”
“Oh, kami mengambil kelas berbeda denganmu dan datang agak terlambat.“ jelas Greta.
Tak banyak yang bisa di obrolkan dengan mereka. Axel yang dingin dan pendiam, dengan pandangannya yang tajam, jika kau memandangnya kau pasti akan merasa seolah-olah ia ingin menerkam. Sedangkan Greta, ia perempuan yang menarik, periang, dan tak henti-hentinya bergoyang ketika berbicara. Kurasa mereka berdua melengkapi satu sama lain. Ingin rasanya punya ikatan seperti itu. Aku anak tunggal dengan orang tua tunggal.
Akupun mengajak menawari mereka apabila mereka mau satu kelas yang sama denganku. Dan tanpa ditebak lagi, Greta menjawab iya dengan girang sedangkan Axel tetap dengan raut patungnya. Tak apa.
“Al, bagaimana kalau kau berkunjung ke rumah kami akhir pekan nanti?“ ajak Greta.
Axel hanya melirik saja dengan tatapan mengejek kepada Greta. Greta tidak menggubrisnya, seolah-olah itu adalah hal biasa.
“Well, kuharap aku tidak punya rencana lain. Tapi akan kuusahakan. Sepertinya aku dan Axel bisa berteman baik.“ kataku dengan nada agak mengejek.
Greta cekikikan.
“Kau tidak tau apa yang kau lakukan…“ geram Axel.
“Ax..!“
Bentak Greta.
“Ok.“
Kamipun pulang kearah tujuan masing-masing. Sesampainya di rumah, aku teringat geraman Ax tadi, seolah-olah atmosfer disekelilingnya berubah menjadi hitam pekat dan diselubingi merah darah. Kematian. Apa ia memang orang temperament? Atau itu hanya perasaanku saja? Kakak beradik itu semakin membuatku penasaran. Dalam pembicaan kami tadi, Greta bilang kalau kita mungkin bisa menjadi teman dekat. Aku agak memikirkan kata-kata itu, apa itu ajakan untuk berteman? Atau hanya intermezzo agar obrolan tidak terlalu boring? Well, apapun itu, aku menyambut kata-kata itu dengan biasa saja. Seperti biasa. Kutekankan sekali lagi. Aura mereka berbeda.
Malam datang, tidak turun hujan. Bulan sudah mencapai puncak dengan sinar purnamanya yang membuatku hidup. Rasanya aku tak merasa mengantuk sedikitpun. Aku duduk di balkon kamarku, menghadap ke menara jam. Aku selalu bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang ada di menara jam tersebut. Pintu masuk dijaga ketat oleh suatu keluarga yang sudah menjaga gerbang itu selama berabad-abad secara turun temurun, setidaknya itu yang mereka bilang. Keluarga Eclate, mereka tidak terlalu menunjukan diri mereka di umum, kecuali Rio. Ya, Rio Eclate….
Tiba-tiba aku melihat bayangan berkelebat di belakangku, ketika aku berbalik ternyata tidak ada apa-apa. Aku mulai merasakan aura yang aneh, ruang di sekelilingku berwarna hitam pekat, dengan merah sebagai pondasi, aura yang sama yang kurasakan saat Axel menggeram, tapi ini lebih tajam dan menyesakan. Aku berputar 360  mencari asal aura tersebut. Aneh. Aura itu semakin tajam, berusaha membunuhku dari dalam. Tiba-tiba kepalaku mulai terasa berat. Aku tidak kuat. Aura itu terlalu kuat. Kuat. Ya itu yang aku perlukan, aku harus menguatkannya.
Tiba-tiba saja aura itu hilang, dan aku merasa kalau semuanya sudah lepas. Semua beban yang ditumpukan padaku mulai terangkat. Aku terenung sebentar, memikirkan apa yang baru saja aku rasakan. Terasa nyata, terasa dekat. Tapi beberapa saat kemudian aku menganggap itu hanya perasaanku saja, tak ada yang nyata. Akupun kembali ke ruanganku. Ibuku belum pulang, ia pasti lembur lagi. Kesepian rasanya, tapi itulah usaha ibuku untuk menafkahi kami.
Aku mulai membaringkan badanku di ranjang. Tiba-tiba telponku berbunyi. Dan kulihat, ‘RIO CALLING ‘.
Tanpa basa-basi akupun langsung mengangkatnya.
“Yo.“ sapaku.
“Yo Al! sedang apa kau?“
“Ada apa kau menelponku larut begini?“
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Jahat sekali kau.“
“Kau ingin aku tutup teleponnya?“ ancamku sinis.
“Ok, ok. Ttp. Tadi aku baru dengar kalau kau berteman dengan seseorang.“
“Seseorang?“
“Well, lebih tepatnya dua. Axel dan Greta Vladimir?“
“Oh, ya. Memangnya kenapa?“
“Tidak biasanya kau berteman dengan orang lain, terutama orang asing.“
“Mereka berbeda.“
“Darimana kau tau?“
“Kau liat saja nanti?“
“Ok. Kenalkan aku pada Greta ya?“
“Urgh, Rio. Aku sudah tau maksudmu. Tenang saja, aku akan mengenalkamu padanya.“
“Thanks, brother! Hahaha.“
“Ok. Bye.“
Aku menutup teleponnya dan mulai berbaring lagi, Rio pasti sedang loncat-loncat kegirangan. Aku teringat apa yang dikatakan Rio tadi. Tidak biasanya aku berteman dengan orang asing. Well, itu memang benar. Tapi aku tetap merasa kalau mereka akan membuat hidupku berbeda. Siapa tau?
Hari barupun tiba. Langit tak begitu cerah. Tapi aku suka. Ketika aku menutup gerbang rumahku, aku mendengar langkah kaki berat, tanah disekelilingku agak berguncang. Saat kubalikan badanku, aku melihat seoraang laki-laki berbadan tegap, dengan otot-ototnya yang besar, ia jangkung, rambutnya merah, matanya berwarna merah juga, ia menyeringai garang melihat ke arahku.
Aku menelan berat ludahku. GLUK. Lalu aku mulai mengingat-ngingat, apa aku punya dosa terhadap orang lain atau hutang atau apapun. Apapun. Aku agak panic. Siapa dia? Ia berjalan santai sambil menghampiriku.
Sesampainya ia didepanku, aku mulai merasakan aura yang aneh. Berat.
“Jadi kau yang mereka bicarakan itu?“ pertanyaan yang terlontar dari suaranya yang ganas malah terdengar seperti pernyataan.
Aku terdiam kebingungan.
“Hm. Apa yang diinginkan bos dengan anak ini? Tidak ada yang special dengannya.“
Aku percaya. Dia gila. Kemudian akau menggelengkan kepala dengan heran dan agak takut. Hendak pergi. Tapi ia menyebut namaku.
“Valent-kan? Aku tak mungkin salah. Hei. Ini ada titipan.“
Ia melemparkan sebuah amplop dengan warna putih kusam. Dan aku langsung menagkapnya.
“Dari..?“
“Kau akan tau sendiri. Jangan sampai ada yang tau. Termasuk kakak beradik Vladimir. Mengerti?“
“Tapi, kenapa?“
“Kau tak ingin kepalan tanganku mendarat di pipimu bukan?“
Akupun menggelengkan kepala.
“Bagus. Lakukan apa yang kukatakan dan lakukan apa yang ada dalam surat itu.“
Aku mengangguk gugup. Dan melirik surat itu. Saat kulihat ke depan mata, ia sudah tak ada. Cepat sekali, pikirku. Bagaimana seseorang dengan badan sebesar itu bisa bergerak cepat? Apa yang sebenarnya akan terjadi dalam hidupku?
Aku mulai agak bingung. Aura. Surat. Dan Samson.
Aku segera berlari menuju sekolah ketika kudengar suara lonceng menara jam.
Sesampainya disana, aku langsung bertemu Greta, tanpa Axel.
“Kau terlambat Al.“ dengan suara nyaringnya yang khas.
“Sedikit.“ kataku sambil menyeringai.
“Sebentar lagi pasti gurunya datang.“
“Yupz. Hei dimana Axel?“
“Owh, dia sedang tidak enak badan. Dan terbaring di rumah.“
“Terbaring. Well. Bisakah aku menjenguknya?“
“Sebaiknya jangan. Kau tidak mau tertular virus flu bukan?“
“Oh. Tentu saja tidak.”
Pembicaraan kami terpotong ketika Ms. Riley datang. Selama pelajaran aku merenungkan surat itu. Aku bermaksud memberi tahu Greta, atau setidaknya menanyakan tentang orang itu. Tapi, aku tak biasa melanggar janjiku. Seberat apapun itu. Saat bel pulang berbunyi, aku tidak melihat Greta dimanapun. Ia mungkin sudah pulang. Aku berjalan santai ke belakang sekolah dan duduk dibangku.
Aku mulai membuka surat itu. Aku membuka segel terlebih dahulu. Segelnya berlambang ‘XIII’. Unik. Segel itu berwarna hitam pekat, tapi jelas sekali angka itu terlihat. Disana dilingkari dengan kata-kata kecil yang tak bisa kulihat. Braile?
Aku tidak terlalu memperhatikan itu. Kutarik suratnya. Kertas itu berwarna putih kusam dengan aroma tua yang harum. Tidak kusukai, tapi aku tidak terlalu tidak suka juga. Classic. Saat kubuka surat itu aku hanya melihat beberapa baris kalimat yang ditulis dengan anggun. Tinta hitam yang membentuk kalimat itu terlihat indah.
Seketika itu juga ada seseorang yang menyentuh punggungku. Dan secara spontan aku menutup surat itu dengan cepat. Sentuhan itu menyebabkan aura aneh di sekelilingku, aku terkesiap. Isi tubuhku dingin. Tangan itu langsung menarik diri, lalu aku berbalik. Greta.
“Al? Kau tidak apa-apa? Kau terlihat kacau.“
“Oh tidak, tidak. Apa yang kau lakukan disini?“
“Well, aku hendak pulang lalu aku berniat pergi ke taman sebentar, untuk, untuk..“
“Untuk..?“
“Jangan terlalu dipikirkan. Dan apa yang sedang kau lakukan disini?“
“Errrr….aku biasa disini ko. Tempat sepi.“
Perbincangan itu berlalu sangat cepat, Greta pergi dengan alasan Axel kesepian. Aku tidak menyangka orang seperti Axel bisa kesepian. Aneh.
Setelah beberapa saat perhatianku tertuju ke surat tadi.

          Datanglah ke lapang Verdantruf tepat tengah malam, disaat bulan tepat di atas.
          Sendirian. Tanpa teman.

V


Begitulah isi surat itu, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya? Siapa orang itu? Apa hubungannya denganku? Apa hubungannya dengan Vladimirs?
Pertanyaan itu begitu rumit. Akupun segera pulang ke rumah. Seperti biasa, sesampainya disana mum belum pulang, selalu begitu. Tapi aku sudah terbiasa begini.
Aku tidak sabar menunggu tengah malam, terlalu penasaran. Misterius.
Pada saat jam menunjukan pukul 23.30, aku segera bergegas. Memakai celana jeans dan cardigan hitam. Segera menuju ke Verdantruf, monumental perang…