Chapter 1
Common
Hujan
mengguyur tubuhku, aku masih berlari dengan tergesa-gesa melewati menara jam.
Jampun berdenting dan menunjukan pukul 6, menuju malam. Aku masih berlari,
takut hujan membesar. Akhirnya aku sampai di sebuah tempat, bau makanan sudah tercium.
Café. Aku mengusap wajahku yang basah dan segera masuk kesana.
Disini
sepi, hanya ada beberapa orang saja, saat aku masuk semua orang melihatku dan
menyantap makanan mereka lagi. Aku langsung menuju meja yang biasa menjadi
tempat duduku, diujung. Kulihat seorang pelayan perempuan berjalan
menghampiriku dengan senyuman lebar. Akupun membalas senyumnya.
“Halo,
Al. mau pesan apa?“ tanyanya.
“Mmmm….kayak
yang biasa aja deh.“
“Ok.”
Ia
pun pergi dengan senyumnya yang lebar. Ya, semua pelayan disini sudah tau
makanan favoritku, roti vanilla krim vanilla dan milkshake vanilla hangat. Aku
suka vanilla. Aku sudah mencium baunya, membuat air liurku semakin cair dan
perutku semakin terasa lapar.
Aku
melihat sekeliling dan ada dua orang yang menarik perhatianku, mereka duduk
sama sepertiku di sudut ruangan, tempat yang tepat untuk menyendiri, tapi
mereka berdua. Akupun ingat, mereka adalah penduduk baru di kota kecil ini. Air
muka mereka pucat pasi, tanpa expresi, aura mereka hitam pekat. Aku bisa
melihat aura orang lain. Tapi aku merasakan satu hal yang berbeda dari mereka,
tidak biasa. Aku terus memandang mereka dengan tajam, mreka melihatku dengan
menyeringai. Bola mata mereka hitam pekat. Akupun meronjat ketika pelayan itu
datang membawa pesanan.
“Owh,
thanks.“
“Ok.
Dari tadi kau memandangi Vladimir bersaudara.“
“Owh,
ya. Mereka baru pindah dari Midwest kan.“
“Ya,
seperti kau tau orang tua mereka adalah penduduk asli kota ini. Mereka begitu
awet muda, semua orang begitu iri pada keluarga Vladimir.”
“Anyway,
siapa nama mereka?“
“Laki-laki
berambut merah bernama Axel Vladimir dan yang perempuan bernama Greta Vladimir.“
“Ok,
thanks buat infonya.“
“Ok.
Panggil saja kalau kau membutuhkan sesuatu.“
Aku
mulai menyantap makananku, akupun melirik ke kaca dan melihat hidungku memerah,
ya hidungku selalu memerah ketika aku kedinginan. Hujan semakin deras dan
langit semakin gelap. Kakak beradik itu memandangku dan aku balas dengan
senyuman kaku, aku memang tak biasa senyum kepada orang asing, tapi mereka
berbeda.
Aku
sempat berpikir mungkin kita bisa berteman. Aku tak pernah punya teman. Aku
memang penyendiri. Makananku habis, jam menunjukan pukul 7.30 akupun
meninggalkan uang untuk bayarannya dan pergi meninggalkan tempa itu. Saat
kulihat sudut tempat kakak beradik Vladimir duduk mereka sudah pergi. Aku tak
begitu mempedulikannya dam segera pergi. Hujan masih deras, kabut menghalangi
pandanganku. Aku melihat sihulet seseorang di perempatan, sosok itu berdiri
tegap, tingginya sama denganku, matanya merah menyala. Merah. Aku terperanjat,
aku menggosok-gosok mataku.
“Halo..?
Siapa disana?“ teriaku di tengah kabut tersebut. Mungkin karena hujan terlalu
deras suaraku tidak mungkin terdengar olehnya.
Aku
menggosok mataku lagi. Saat kubuka mataku, sosok itu hilang. Halusinasi.
“Hai…!“
Aku
kaget mendengar seseorang menyapaku dari belakang. Greta.
“Oh,
hei. Kukira kau sudah pulang dengan kakakmu.“
“Belum,
Axel sedang pergi ke suatu tempat. Apa yang kau lakukan disini Al?“
“Well,
aku..tunggu darimana kau tau nama panggilanku?“
“Ups..tadi
aku tidak sengaja mendengar pelayan di toko itu memanggilmu dengan nama itu.“
“Oh,
yea. Hei apa kau…”
“Ayo
Greta, kita pulang.“
Tiba-tiba
Axel datang dari belakang Greta dan mengajaknya pulang.
“Oh,
Axel. Kau hampir membuat jantungku copot. Haha….“
“Ayo.”
“Ok.
Dah Al. kita bertemu besok di sekolah.“
Akupun
melambaikan tangan dan mulai berbalik. Aku mulai menyadari kata-kata Greta,
“….bertemu besok di sekolah.” Itu artinya mereka akan pergi ke sekolahku bukan?
Sesampainya
di rumah aku membaringkan badanku di ranjang. Sekejap terasa aura kakak beradik
Vladimir. Berbeda. Hujan semakin deras, akupun menutup jendela, sebelum kututup
aku melihat sihulet lagi, berdiri di ujung menara jam, diatas. Aku terdiam
dengan heran, nyata atau halusinasi? Dalam sekejap bayangan itu hilang seperti
dibawa angin. Akupun segera menutup jendela dan berlari kecil ke ranjang, aku
masih kurang percaya. Tak peduli. Aku membaringkan badanku, lelah. Aku terbuai
mimpi, terlelap dalam kegelapan, dalam.
Ketika
pagi datang, aku terbangun dengan sinar matahari menyorot mataku. Aku benci
matahari. Tidak biasanya kota ini disinari matahari, di tambah ini hari Senin.
Pasti semua orang akan membicarakan tentang hari yang cerah ini. Trending
topic. Setelah aku mandi dan berpakaian, aku segera menyantap sarapan yang
sudah ada di meja makan. Well, mum pasti sudah berangkat kerja tadi pagi-pagi
sekali.
Aku
langsung pergi ke sekolah setelah menyantap habis sandwich tadi. Sesampainya di
sekolah, aku bertemu dengan orang yang biasa kutemui. Ironis. Rasanya kau
berkubang di lumpur yang sama setiap detik, membuatmu jenuh. Dan matahari ini
menyebalkan, berani bertaruh, sebelum matahari mencapai titik terang, pasti
awan gelap sudah menutupinya. Aku mencari dua bersaudara yang kutemui tadi
malam, Vladimirs. Tapi mereka tidak kelihatan, apakah Greta hanya bercanda?
Well, sebenarnya aku tak terlalu peduli.
Aku
tak punya banyak teman, atau lebih tepatnya aku tidak suka berteman.
Pertemananku terakhir? Buruk. Aku cenderung mendorong semua orang ke jurang dikehidupanku
dan pada akhirnya hanya aku yang bisa berdiri di tepi. Atas kehendaku.
Sebenarnya
aku punya satu sahabat.
“Valent!
Bagaimana akhir pekanmu?“ tanya suara yang sudah kukenal.
“Oh,
Rio. Well, seperti biasa, kau tau. Lalu bagaimana kunjunganmu ke rumah kakekmu?“
“Dia
baik-baik saja. Tapi kau tidak akan percaya! Dia bilang aku mempunyai darah
penyihir murni dari orang tua ibuku dan orang tuanya orang tua ibuku dan…“
“Ok,
ok. Kenapa tak kau singkat saja, buyutmu? Atau setidaknya nenek moyang?“ potongku
dengan jengkel.
“Aku
hanya suka bermain kata kau tahu? Jadi apa kau percaya apa yang kubicarakan
tadi?“ katanya sambil melirik penuh harap.
“Ok,
tidak ada yang tidak mungkin.“ jawabku datar.
“Urgh,
kau selalu saja begitu. Tak menarik.“
Obrolan
kami berlanjut sambil berjalan ke kelas. Aku dan Rio sudah berteman bahkan
sejak dalam kandungan. Bercanda. Tapi sebenarnya kami dua manusia yang berbeda
dalam berbagai hal. Aneh. Ya, bahkan orang-orang selalu bertanya kenapa kami
bisa seperti itu. Keajaiban? Mungkin. Dia sudah kuanggap sebagai saudaraku.
Tidak ada rahasia.
Pelajaran
begitu membosankan untuk dipelajari hari ini. Karena cuaca cerah. Membuatku
malas setiap melihat keluar, matahari. Dan akhirnya awan menutup matahari
dengan auranya yang menandakan akan turun hujan.
Tepat
setelah pelajaran selesai, gerimis mulai turun. Dan kulihat kakak beradik Vladimir
di seberang jalan. Greta melambaikan tangannya dengan girang padaku, sedangkan
Axel diam seperti patung. Misterius. Akupun berlari menghampiri mereka.
“So,
dimana kalian sekolah?“ tanyaku dengan nada agak datar.
“Benarkan
kataku Ax? Dia pasti mencari kita, aku sudah…”
“Ya
aku tahu. Lebih baik kita tidak usah membahasnya oke? Kau tidak mau membuat
anak ini ketakutan bukan?“ potong Axel dingin.
Oh,
kalian tidak usah menganggapku ada. Teriakku dalam hati.
“Halo?
Jadi dimana kalian sekolah?“ dengan nada agak menekan.
“Disini.”
Jawab Axel singkat.
“Disini,
maksudmu disini?“
“Ya
disini Valent!“ jawab Greta dengan suaranya yang nyaring.
“Tapi
kemana kalian tadi? Maksudku, aku bahkan tidak melihat kalian.”
“Oh,
kami mengambil kelas berbeda denganmu dan datang agak terlambat.“ jelas Greta.
Tak
banyak yang bisa di obrolkan dengan mereka. Axel yang dingin dan pendiam,
dengan pandangannya yang tajam, jika kau memandangnya kau pasti akan merasa
seolah-olah ia ingin menerkam. Sedangkan Greta, ia perempuan yang menarik,
periang, dan tak henti-hentinya bergoyang ketika berbicara. Kurasa mereka
berdua melengkapi satu sama lain. Ingin rasanya punya ikatan seperti itu. Aku
anak tunggal dengan orang tua tunggal.
Akupun
mengajak menawari mereka apabila mereka mau satu kelas yang sama denganku. Dan
tanpa ditebak lagi, Greta menjawab iya dengan girang sedangkan Axel tetap
dengan raut patungnya. Tak apa.
“Al,
bagaimana kalau kau berkunjung ke rumah kami akhir pekan nanti?“ ajak Greta.
Axel
hanya melirik saja dengan tatapan mengejek kepada Greta. Greta tidak
menggubrisnya, seolah-olah itu adalah hal biasa.
“Well,
kuharap aku tidak punya rencana lain. Tapi akan kuusahakan. Sepertinya aku dan
Axel bisa berteman baik.“ kataku dengan nada agak mengejek.
Greta
cekikikan.
“Kau tidak
tau apa yang kau lakukan…“ geram Axel.
“Ax..!“
Bentak
Greta.
“Ok.“
Kamipun
pulang kearah tujuan masing-masing. Sesampainya di rumah, aku teringat geraman
Ax tadi, seolah-olah atmosfer disekelilingnya berubah menjadi hitam pekat dan
diselubingi merah darah. Kematian. Apa ia memang orang temperament? Atau itu
hanya perasaanku saja? Kakak beradik itu semakin membuatku penasaran. Dalam
pembicaan kami tadi, Greta bilang kalau kita mungkin bisa menjadi teman dekat.
Aku agak memikirkan kata-kata itu, apa itu ajakan untuk berteman? Atau hanya
intermezzo agar obrolan tidak terlalu boring? Well, apapun itu, aku menyambut
kata-kata itu dengan biasa saja. Seperti biasa. Kutekankan sekali lagi. Aura
mereka berbeda.
Malam
datang, tidak turun hujan. Bulan sudah mencapai puncak dengan sinar purnamanya
yang membuatku hidup. Rasanya aku tak merasa mengantuk sedikitpun. Aku duduk di
balkon kamarku, menghadap ke menara jam. Aku selalu bertanya-tanya. Sebenarnya
apa yang ada di menara jam tersebut. Pintu masuk dijaga ketat oleh suatu
keluarga yang sudah menjaga gerbang itu selama berabad-abad secara turun
temurun, setidaknya itu yang mereka bilang. Keluarga Eclate, mereka tidak
terlalu menunjukan diri mereka di umum, kecuali Rio. Ya, Rio Eclate….
Tiba-tiba
aku melihat bayangan berkelebat di belakangku, ketika aku berbalik ternyata
tidak ada apa-apa. Aku mulai merasakan aura yang aneh, ruang di sekelilingku
berwarna hitam pekat, dengan merah sebagai pondasi, aura yang sama yang
kurasakan saat Axel menggeram, tapi ini lebih tajam dan menyesakan. Aku
berputar 360
mencari asal aura tersebut. Aneh. Aura itu
semakin tajam, berusaha membunuhku dari dalam. Tiba-tiba kepalaku mulai terasa
berat. Aku tidak kuat. Aura itu terlalu kuat. Kuat. Ya itu yang aku perlukan,
aku harus menguatkannya.
Tiba-tiba
saja aura itu hilang, dan aku merasa kalau semuanya sudah lepas. Semua beban
yang ditumpukan padaku mulai terangkat. Aku terenung sebentar, memikirkan apa
yang baru saja aku rasakan. Terasa nyata, terasa dekat. Tapi beberapa saat
kemudian aku menganggap itu hanya perasaanku saja, tak ada yang nyata. Akupun
kembali ke ruanganku. Ibuku belum pulang, ia pasti lembur lagi. Kesepian
rasanya, tapi itulah usaha ibuku untuk menafkahi kami.
Aku
mulai membaringkan badanku di ranjang. Tiba-tiba telponku berbunyi. Dan
kulihat, ‘RIO CALLING ‘.
Tanpa
basa-basi akupun langsung mengangkatnya.
“Yo.“
sapaku.
“Yo
Al! sedang apa kau?“
“Ada
apa kau menelponku larut begini?“
“Kau
belum menjawab pertanyaanku. Jahat sekali kau.“
“Kau
ingin aku tutup teleponnya?“ ancamku sinis.
“Ok,
ok. Ttp. Tadi aku baru dengar kalau kau berteman dengan seseorang.“
“Seseorang?“
“Well,
lebih tepatnya dua. Axel dan Greta Vladimir?“
“Oh,
ya. Memangnya kenapa?“
“Tidak
biasanya kau berteman dengan orang lain, terutama orang asing.“
“Mereka
berbeda.“
“Darimana
kau tau?“
“Kau
liat saja nanti?“
“Ok.
Kenalkan aku pada Greta ya?“
“Urgh,
Rio. Aku sudah tau maksudmu. Tenang saja, aku akan mengenalkamu padanya.“
“Thanks,
brother! Hahaha.“
“Ok.
Bye.“
Aku
menutup teleponnya dan mulai berbaring lagi, Rio pasti sedang loncat-loncat
kegirangan. Aku teringat apa yang dikatakan Rio tadi. Tidak biasanya aku
berteman dengan orang asing. Well, itu memang benar. Tapi aku tetap merasa
kalau mereka akan membuat hidupku berbeda. Siapa tau?
Hari
barupun tiba. Langit tak begitu cerah. Tapi aku suka. Ketika aku menutup
gerbang rumahku, aku mendengar langkah kaki berat, tanah disekelilingku agak
berguncang. Saat kubalikan badanku, aku melihat seoraang laki-laki berbadan
tegap, dengan otot-ototnya yang besar, ia jangkung, rambutnya merah, matanya
berwarna merah juga, ia menyeringai garang melihat ke arahku.
Aku
menelan berat ludahku. GLUK. Lalu aku mulai mengingat-ngingat, apa aku punya
dosa terhadap orang lain atau hutang atau apapun. Apapun. Aku agak panic. Siapa
dia? Ia berjalan santai sambil menghampiriku.
Sesampainya
ia didepanku, aku mulai merasakan aura yang aneh. Berat.
“Jadi
kau yang mereka bicarakan itu?“ pertanyaan yang terlontar dari suaranya yang
ganas malah terdengar seperti pernyataan.
Aku
terdiam kebingungan.
“Hm.
Apa yang diinginkan bos dengan anak ini? Tidak ada yang special dengannya.“
Aku
percaya. Dia gila. Kemudian akau menggelengkan kepala dengan heran dan agak
takut. Hendak pergi. Tapi ia menyebut namaku.
“Valent-kan?
Aku tak mungkin salah. Hei. Ini ada titipan.“
Ia
melemparkan sebuah amplop dengan warna putih kusam. Dan aku langsung
menagkapnya.
“Dari..?“
“Kau
akan tau sendiri. Jangan sampai ada yang tau. Termasuk kakak beradik Vladimir.
Mengerti?“
“Tapi,
kenapa?“
“Kau
tak ingin kepalan tanganku mendarat di pipimu bukan?“
Akupun
menggelengkan kepala.
“Bagus.
Lakukan apa yang kukatakan dan lakukan apa yang ada dalam surat itu.“
Aku
mengangguk gugup. Dan melirik surat itu. Saat kulihat ke depan mata, ia sudah
tak ada. Cepat sekali, pikirku. Bagaimana seseorang dengan badan sebesar itu
bisa bergerak cepat? Apa yang sebenarnya akan terjadi dalam hidupku?
Aku
mulai agak bingung. Aura. Surat. Dan Samson.
Aku
segera berlari menuju sekolah ketika kudengar suara lonceng menara jam.
Sesampainya
disana, aku langsung bertemu Greta, tanpa Axel.
“Kau
terlambat Al.“ dengan suara nyaringnya yang khas.
“Sedikit.“
kataku sambil menyeringai.
“Sebentar
lagi pasti gurunya datang.“
“Yupz.
Hei dimana Axel?“
“Owh,
dia sedang tidak enak badan. Dan terbaring di rumah.“
“Terbaring.
Well. Bisakah aku menjenguknya?“
“Sebaiknya
jangan. Kau tidak mau tertular virus flu bukan?“
“Oh.
Tentu saja tidak.”
Pembicaraan
kami terpotong ketika Ms. Riley datang. Selama pelajaran aku merenungkan surat itu.
Aku bermaksud memberi tahu Greta, atau setidaknya menanyakan tentang orang itu.
Tapi, aku tak biasa melanggar janjiku. Seberat apapun itu. Saat bel pulang
berbunyi, aku tidak melihat Greta dimanapun. Ia mungkin sudah pulang. Aku
berjalan santai ke belakang sekolah dan duduk dibangku.
Aku
mulai membuka surat itu. Aku membuka segel terlebih dahulu. Segelnya berlambang
‘XIII’. Unik. Segel itu berwarna hitam pekat, tapi jelas sekali angka itu
terlihat. Disana dilingkari dengan kata-kata kecil yang tak bisa kulihat.
Braile?
Aku
tidak terlalu memperhatikan itu. Kutarik suratnya. Kertas itu berwarna putih
kusam dengan aroma tua yang harum. Tidak kusukai, tapi aku tidak terlalu tidak
suka juga. Classic. Saat kubuka surat itu aku hanya melihat beberapa baris
kalimat yang ditulis dengan anggun. Tinta hitam yang membentuk kalimat itu
terlihat indah.
Seketika
itu juga ada seseorang yang menyentuh punggungku. Dan secara spontan aku
menutup surat itu dengan cepat. Sentuhan itu menyebabkan aura aneh di
sekelilingku, aku terkesiap. Isi tubuhku dingin. Tangan itu langsung menarik
diri, lalu aku berbalik. Greta.
“Al?
Kau tidak apa-apa? Kau terlihat kacau.“
“Oh
tidak, tidak. Apa yang kau lakukan disini?“
“Well,
aku hendak pulang lalu aku berniat pergi ke taman sebentar, untuk, untuk..“
“Untuk..?“
“Jangan
terlalu dipikirkan. Dan apa yang sedang kau lakukan disini?“
“Errrr….aku
biasa disini ko. Tempat sepi.“
Perbincangan
itu berlalu sangat cepat, Greta pergi dengan alasan Axel kesepian. Aku tidak
menyangka orang seperti Axel bisa kesepian. Aneh.
Setelah
beberapa saat perhatianku tertuju ke surat tadi.
Datanglah
ke lapang Verdantruf tepat tengah malam, disaat bulan tepat di atas.
Sendirian. Tanpa teman.
V
Begitulah
isi surat itu, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya? Siapa orang itu?
Apa hubungannya denganku? Apa hubungannya dengan Vladimirs?
Pertanyaan
itu begitu rumit. Akupun segera pulang ke rumah. Seperti biasa, sesampainya
disana mum belum pulang, selalu begitu. Tapi aku sudah terbiasa begini.
Aku
tidak sabar menunggu tengah malam, terlalu penasaran. Misterius.
Pada
saat jam menunjukan pukul 23.30, aku segera bergegas. Memakai celana jeans dan
cardigan hitam. Segera menuju ke Verdantruf, monumental perang…