Friday, June 8, 2012

Puzzle

Chapter 1
Common

Hujan mengguyur tubuhku, aku masih berlari dengan tergesa-gesa melewati menara jam. Jampun berdenting dan menunjukan pukul 6, menuju malam. Aku masih berlari, takut hujan membesar. Akhirnya aku sampai di sebuah tempat, bau makanan sudah tercium. Café. Aku mengusap wajahku yang basah dan segera masuk kesana.
Disini sepi, hanya ada beberapa orang saja, saat aku masuk semua orang melihatku dan menyantap makanan mereka lagi. Aku langsung menuju meja yang biasa menjadi tempat duduku, diujung. Kulihat seorang pelayan perempuan berjalan menghampiriku dengan senyuman lebar. Akupun membalas senyumnya.
“Halo, Al. mau pesan apa?“ tanyanya.
“Mmmm….kayak yang biasa aja deh.“
“Ok.”
Ia pun pergi dengan senyumnya yang lebar. Ya, semua pelayan disini sudah tau makanan favoritku, roti vanilla krim vanilla dan milkshake vanilla hangat. Aku suka vanilla. Aku sudah mencium baunya, membuat air liurku semakin cair dan perutku semakin terasa lapar.
Aku melihat sekeliling dan ada dua orang yang menarik perhatianku, mereka duduk sama sepertiku di sudut ruangan, tempat yang tepat untuk menyendiri, tapi mereka berdua. Akupun ingat, mereka adalah penduduk baru di kota kecil ini. Air muka mereka pucat pasi, tanpa expresi, aura mereka hitam pekat. Aku bisa melihat aura orang lain. Tapi aku merasakan satu hal yang berbeda dari mereka, tidak biasa. Aku terus memandang mereka dengan tajam, mreka melihatku dengan menyeringai. Bola mata mereka hitam pekat. Akupun meronjat ketika pelayan itu datang membawa pesanan.
“Owh, thanks.“
“Ok. Dari tadi kau memandangi Vladimir bersaudara.“
“Owh, ya. Mereka baru pindah dari Midwest kan.“
“Ya, seperti kau tau orang tua mereka adalah penduduk asli kota ini. Mereka begitu awet muda, semua orang begitu iri pada keluarga Vladimir.”
“Anyway, siapa nama mereka?“
“Laki-laki berambut merah bernama Axel Vladimir dan yang perempuan bernama Greta Vladimir.“
“Ok, thanks buat infonya.“
“Ok. Panggil saja kalau kau membutuhkan sesuatu.“
Aku mulai menyantap makananku, akupun melirik ke kaca dan melihat hidungku memerah, ya hidungku selalu memerah ketika aku kedinginan. Hujan semakin deras dan langit semakin gelap. Kakak beradik itu memandangku dan aku balas dengan senyuman kaku, aku memang tak biasa senyum kepada orang asing, tapi mereka berbeda.
Aku sempat berpikir mungkin kita bisa berteman. Aku tak pernah punya teman. Aku memang penyendiri. Makananku habis, jam menunjukan pukul 7.30 akupun meninggalkan uang untuk bayarannya dan pergi meninggalkan tempa itu. Saat kulihat sudut tempat kakak beradik Vladimir duduk mereka sudah pergi. Aku tak begitu mempedulikannya dam segera pergi. Hujan masih deras, kabut menghalangi pandanganku. Aku melihat sihulet seseorang di perempatan, sosok itu berdiri tegap, tingginya sama denganku, matanya merah menyala. Merah. Aku terperanjat, aku menggosok-gosok mataku.
“Halo..? Siapa disana?“ teriaku di tengah kabut tersebut. Mungkin karena hujan terlalu deras suaraku tidak mungkin terdengar olehnya.
Aku menggosok mataku lagi. Saat kubuka mataku, sosok itu hilang. Halusinasi.
“Hai…!“
Aku kaget mendengar seseorang menyapaku dari belakang. Greta.
“Oh, hei. Kukira kau sudah pulang dengan kakakmu.“
“Belum, Axel sedang pergi ke suatu tempat. Apa yang kau lakukan disini Al?“
“Well, aku..tunggu darimana kau tau nama panggilanku?“
“Ups..tadi aku tidak sengaja mendengar pelayan di toko itu memanggilmu dengan nama itu.“
“Oh, yea. Hei apa kau…”
“Ayo Greta, kita pulang.“
Tiba-tiba Axel datang dari belakang Greta dan mengajaknya pulang.
“Oh, Axel. Kau hampir membuat jantungku copot. Haha….“
“Ayo.”
“Ok. Dah Al. kita bertemu besok di sekolah.“
Akupun melambaikan tangan dan mulai berbalik. Aku mulai menyadari kata-kata Greta, “….bertemu besok di sekolah.” Itu artinya mereka akan pergi ke sekolahku bukan?
Sesampainya di rumah aku membaringkan badanku di ranjang. Sekejap terasa aura kakak beradik Vladimir. Berbeda. Hujan semakin deras, akupun menutup jendela, sebelum kututup aku melihat sihulet lagi, berdiri di ujung menara jam, diatas. Aku terdiam dengan heran, nyata atau halusinasi? Dalam sekejap bayangan itu hilang seperti dibawa angin. Akupun segera menutup jendela dan berlari kecil ke ranjang, aku masih kurang percaya. Tak peduli. Aku membaringkan badanku, lelah. Aku terbuai mimpi, terlelap dalam kegelapan, dalam.
Ketika pagi datang, aku terbangun dengan sinar matahari menyorot mataku. Aku benci matahari. Tidak biasanya kota ini disinari matahari, di tambah ini hari Senin. Pasti semua orang akan membicarakan tentang hari yang cerah ini. Trending topic. Setelah aku mandi dan berpakaian, aku segera menyantap sarapan yang sudah ada di meja makan. Well, mum pasti sudah berangkat kerja tadi pagi-pagi sekali.
Aku langsung pergi ke sekolah setelah menyantap habis sandwich tadi. Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan orang yang biasa kutemui. Ironis. Rasanya kau berkubang di lumpur yang sama setiap detik, membuatmu jenuh. Dan matahari ini menyebalkan, berani bertaruh, sebelum matahari mencapai titik terang, pasti awan gelap sudah menutupinya. Aku mencari dua bersaudara yang kutemui tadi malam, Vladimirs. Tapi mereka tidak kelihatan, apakah Greta hanya bercanda? Well, sebenarnya aku tak terlalu peduli.
Aku tak punya banyak teman, atau lebih tepatnya aku tidak suka berteman. Pertemananku terakhir? Buruk. Aku cenderung mendorong semua orang ke jurang dikehidupanku dan pada akhirnya hanya aku yang bisa berdiri di tepi. Atas kehendaku.
Sebenarnya aku punya satu sahabat.
“Valent! Bagaimana akhir pekanmu?“ tanya suara yang sudah kukenal.
“Oh, Rio. Well, seperti biasa, kau tau. Lalu bagaimana kunjunganmu ke rumah kakekmu?“
“Dia baik-baik saja. Tapi kau tidak akan percaya! Dia bilang aku mempunyai darah penyihir murni dari orang tua ibuku dan orang tuanya orang tua ibuku dan…“
“Ok, ok. Kenapa tak kau singkat saja, buyutmu? Atau setidaknya nenek moyang?“ potongku dengan jengkel.
“Aku hanya suka bermain kata kau tahu? Jadi apa kau percaya apa yang kubicarakan tadi?“ katanya sambil melirik penuh harap.
“Ok, tidak ada yang tidak mungkin.“ jawabku datar.
“Urgh, kau selalu saja begitu. Tak menarik.“
Obrolan kami berlanjut sambil berjalan ke kelas. Aku dan Rio sudah berteman bahkan sejak dalam kandungan. Bercanda. Tapi sebenarnya kami dua manusia yang berbeda dalam berbagai hal. Aneh. Ya, bahkan orang-orang selalu bertanya kenapa kami bisa seperti itu. Keajaiban? Mungkin. Dia sudah kuanggap sebagai saudaraku. Tidak ada rahasia.
Pelajaran begitu membosankan untuk dipelajari hari ini. Karena cuaca cerah. Membuatku malas setiap melihat keluar, matahari. Dan akhirnya awan menutup matahari dengan auranya yang menandakan akan turun hujan.
Tepat setelah pelajaran selesai, gerimis mulai turun. Dan kulihat kakak beradik Vladimir di seberang jalan. Greta melambaikan tangannya dengan girang padaku, sedangkan Axel diam seperti patung. Misterius. Akupun berlari menghampiri mereka.
“So, dimana kalian sekolah?“ tanyaku dengan nada agak datar.
“Benarkan kataku Ax? Dia pasti mencari kita, aku sudah…”
“Ya aku tahu. Lebih baik kita tidak usah membahasnya oke? Kau tidak mau membuat anak ini ketakutan bukan?“ potong Axel dingin.
Oh, kalian tidak usah menganggapku ada. Teriakku dalam hati.
“Halo? Jadi dimana kalian sekolah?“ dengan nada agak menekan.
“Disini.” Jawab Axel singkat.
“Disini, maksudmu disini?“
“Ya disini Valent!“ jawab Greta dengan suaranya yang nyaring.
“Tapi kemana kalian tadi? Maksudku, aku bahkan tidak melihat kalian.”
“Oh, kami mengambil kelas berbeda denganmu dan datang agak terlambat.“ jelas Greta.
Tak banyak yang bisa di obrolkan dengan mereka. Axel yang dingin dan pendiam, dengan pandangannya yang tajam, jika kau memandangnya kau pasti akan merasa seolah-olah ia ingin menerkam. Sedangkan Greta, ia perempuan yang menarik, periang, dan tak henti-hentinya bergoyang ketika berbicara. Kurasa mereka berdua melengkapi satu sama lain. Ingin rasanya punya ikatan seperti itu. Aku anak tunggal dengan orang tua tunggal.
Akupun mengajak menawari mereka apabila mereka mau satu kelas yang sama denganku. Dan tanpa ditebak lagi, Greta menjawab iya dengan girang sedangkan Axel tetap dengan raut patungnya. Tak apa.
“Al, bagaimana kalau kau berkunjung ke rumah kami akhir pekan nanti?“ ajak Greta.
Axel hanya melirik saja dengan tatapan mengejek kepada Greta. Greta tidak menggubrisnya, seolah-olah itu adalah hal biasa.
“Well, kuharap aku tidak punya rencana lain. Tapi akan kuusahakan. Sepertinya aku dan Axel bisa berteman baik.“ kataku dengan nada agak mengejek.
Greta cekikikan.
“Kau tidak tau apa yang kau lakukan…“ geram Axel.
“Ax..!“
Bentak Greta.
“Ok.“
Kamipun pulang kearah tujuan masing-masing. Sesampainya di rumah, aku teringat geraman Ax tadi, seolah-olah atmosfer disekelilingnya berubah menjadi hitam pekat dan diselubingi merah darah. Kematian. Apa ia memang orang temperament? Atau itu hanya perasaanku saja? Kakak beradik itu semakin membuatku penasaran. Dalam pembicaan kami tadi, Greta bilang kalau kita mungkin bisa menjadi teman dekat. Aku agak memikirkan kata-kata itu, apa itu ajakan untuk berteman? Atau hanya intermezzo agar obrolan tidak terlalu boring? Well, apapun itu, aku menyambut kata-kata itu dengan biasa saja. Seperti biasa. Kutekankan sekali lagi. Aura mereka berbeda.
Malam datang, tidak turun hujan. Bulan sudah mencapai puncak dengan sinar purnamanya yang membuatku hidup. Rasanya aku tak merasa mengantuk sedikitpun. Aku duduk di balkon kamarku, menghadap ke menara jam. Aku selalu bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang ada di menara jam tersebut. Pintu masuk dijaga ketat oleh suatu keluarga yang sudah menjaga gerbang itu selama berabad-abad secara turun temurun, setidaknya itu yang mereka bilang. Keluarga Eclate, mereka tidak terlalu menunjukan diri mereka di umum, kecuali Rio. Ya, Rio Eclate….
Tiba-tiba aku melihat bayangan berkelebat di belakangku, ketika aku berbalik ternyata tidak ada apa-apa. Aku mulai merasakan aura yang aneh, ruang di sekelilingku berwarna hitam pekat, dengan merah sebagai pondasi, aura yang sama yang kurasakan saat Axel menggeram, tapi ini lebih tajam dan menyesakan. Aku berputar 360  mencari asal aura tersebut. Aneh. Aura itu semakin tajam, berusaha membunuhku dari dalam. Tiba-tiba kepalaku mulai terasa berat. Aku tidak kuat. Aura itu terlalu kuat. Kuat. Ya itu yang aku perlukan, aku harus menguatkannya.
Tiba-tiba saja aura itu hilang, dan aku merasa kalau semuanya sudah lepas. Semua beban yang ditumpukan padaku mulai terangkat. Aku terenung sebentar, memikirkan apa yang baru saja aku rasakan. Terasa nyata, terasa dekat. Tapi beberapa saat kemudian aku menganggap itu hanya perasaanku saja, tak ada yang nyata. Akupun kembali ke ruanganku. Ibuku belum pulang, ia pasti lembur lagi. Kesepian rasanya, tapi itulah usaha ibuku untuk menafkahi kami.
Aku mulai membaringkan badanku di ranjang. Tiba-tiba telponku berbunyi. Dan kulihat, ‘RIO CALLING ‘.
Tanpa basa-basi akupun langsung mengangkatnya.
“Yo.“ sapaku.
“Yo Al! sedang apa kau?“
“Ada apa kau menelponku larut begini?“
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Jahat sekali kau.“
“Kau ingin aku tutup teleponnya?“ ancamku sinis.
“Ok, ok. Ttp. Tadi aku baru dengar kalau kau berteman dengan seseorang.“
“Seseorang?“
“Well, lebih tepatnya dua. Axel dan Greta Vladimir?“
“Oh, ya. Memangnya kenapa?“
“Tidak biasanya kau berteman dengan orang lain, terutama orang asing.“
“Mereka berbeda.“
“Darimana kau tau?“
“Kau liat saja nanti?“
“Ok. Kenalkan aku pada Greta ya?“
“Urgh, Rio. Aku sudah tau maksudmu. Tenang saja, aku akan mengenalkamu padanya.“
“Thanks, brother! Hahaha.“
“Ok. Bye.“
Aku menutup teleponnya dan mulai berbaring lagi, Rio pasti sedang loncat-loncat kegirangan. Aku teringat apa yang dikatakan Rio tadi. Tidak biasanya aku berteman dengan orang asing. Well, itu memang benar. Tapi aku tetap merasa kalau mereka akan membuat hidupku berbeda. Siapa tau?
Hari barupun tiba. Langit tak begitu cerah. Tapi aku suka. Ketika aku menutup gerbang rumahku, aku mendengar langkah kaki berat, tanah disekelilingku agak berguncang. Saat kubalikan badanku, aku melihat seoraang laki-laki berbadan tegap, dengan otot-ototnya yang besar, ia jangkung, rambutnya merah, matanya berwarna merah juga, ia menyeringai garang melihat ke arahku.
Aku menelan berat ludahku. GLUK. Lalu aku mulai mengingat-ngingat, apa aku punya dosa terhadap orang lain atau hutang atau apapun. Apapun. Aku agak panic. Siapa dia? Ia berjalan santai sambil menghampiriku.
Sesampainya ia didepanku, aku mulai merasakan aura yang aneh. Berat.
“Jadi kau yang mereka bicarakan itu?“ pertanyaan yang terlontar dari suaranya yang ganas malah terdengar seperti pernyataan.
Aku terdiam kebingungan.
“Hm. Apa yang diinginkan bos dengan anak ini? Tidak ada yang special dengannya.“
Aku percaya. Dia gila. Kemudian akau menggelengkan kepala dengan heran dan agak takut. Hendak pergi. Tapi ia menyebut namaku.
“Valent-kan? Aku tak mungkin salah. Hei. Ini ada titipan.“
Ia melemparkan sebuah amplop dengan warna putih kusam. Dan aku langsung menagkapnya.
“Dari..?“
“Kau akan tau sendiri. Jangan sampai ada yang tau. Termasuk kakak beradik Vladimir. Mengerti?“
“Tapi, kenapa?“
“Kau tak ingin kepalan tanganku mendarat di pipimu bukan?“
Akupun menggelengkan kepala.
“Bagus. Lakukan apa yang kukatakan dan lakukan apa yang ada dalam surat itu.“
Aku mengangguk gugup. Dan melirik surat itu. Saat kulihat ke depan mata, ia sudah tak ada. Cepat sekali, pikirku. Bagaimana seseorang dengan badan sebesar itu bisa bergerak cepat? Apa yang sebenarnya akan terjadi dalam hidupku?
Aku mulai agak bingung. Aura. Surat. Dan Samson.
Aku segera berlari menuju sekolah ketika kudengar suara lonceng menara jam.
Sesampainya disana, aku langsung bertemu Greta, tanpa Axel.
“Kau terlambat Al.“ dengan suara nyaringnya yang khas.
“Sedikit.“ kataku sambil menyeringai.
“Sebentar lagi pasti gurunya datang.“
“Yupz. Hei dimana Axel?“
“Owh, dia sedang tidak enak badan. Dan terbaring di rumah.“
“Terbaring. Well. Bisakah aku menjenguknya?“
“Sebaiknya jangan. Kau tidak mau tertular virus flu bukan?“
“Oh. Tentu saja tidak.”
Pembicaraan kami terpotong ketika Ms. Riley datang. Selama pelajaran aku merenungkan surat itu. Aku bermaksud memberi tahu Greta, atau setidaknya menanyakan tentang orang itu. Tapi, aku tak biasa melanggar janjiku. Seberat apapun itu. Saat bel pulang berbunyi, aku tidak melihat Greta dimanapun. Ia mungkin sudah pulang. Aku berjalan santai ke belakang sekolah dan duduk dibangku.
Aku mulai membuka surat itu. Aku membuka segel terlebih dahulu. Segelnya berlambang ‘XIII’. Unik. Segel itu berwarna hitam pekat, tapi jelas sekali angka itu terlihat. Disana dilingkari dengan kata-kata kecil yang tak bisa kulihat. Braile?
Aku tidak terlalu memperhatikan itu. Kutarik suratnya. Kertas itu berwarna putih kusam dengan aroma tua yang harum. Tidak kusukai, tapi aku tidak terlalu tidak suka juga. Classic. Saat kubuka surat itu aku hanya melihat beberapa baris kalimat yang ditulis dengan anggun. Tinta hitam yang membentuk kalimat itu terlihat indah.
Seketika itu juga ada seseorang yang menyentuh punggungku. Dan secara spontan aku menutup surat itu dengan cepat. Sentuhan itu menyebabkan aura aneh di sekelilingku, aku terkesiap. Isi tubuhku dingin. Tangan itu langsung menarik diri, lalu aku berbalik. Greta.
“Al? Kau tidak apa-apa? Kau terlihat kacau.“
“Oh tidak, tidak. Apa yang kau lakukan disini?“
“Well, aku hendak pulang lalu aku berniat pergi ke taman sebentar, untuk, untuk..“
“Untuk..?“
“Jangan terlalu dipikirkan. Dan apa yang sedang kau lakukan disini?“
“Errrr….aku biasa disini ko. Tempat sepi.“
Perbincangan itu berlalu sangat cepat, Greta pergi dengan alasan Axel kesepian. Aku tidak menyangka orang seperti Axel bisa kesepian. Aneh.
Setelah beberapa saat perhatianku tertuju ke surat tadi.

          Datanglah ke lapang Verdantruf tepat tengah malam, disaat bulan tepat di atas.
          Sendirian. Tanpa teman.

V


Begitulah isi surat itu, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa maksudnya? Siapa orang itu? Apa hubungannya denganku? Apa hubungannya dengan Vladimirs?
Pertanyaan itu begitu rumit. Akupun segera pulang ke rumah. Seperti biasa, sesampainya disana mum belum pulang, selalu begitu. Tapi aku sudah terbiasa begini.
Aku tidak sabar menunggu tengah malam, terlalu penasaran. Misterius.
Pada saat jam menunjukan pukul 23.30, aku segera bergegas. Memakai celana jeans dan cardigan hitam. Segera menuju ke Verdantruf, monumental perang…

No comments:

Post a Comment