Wednesday, June 13, 2012

Puzzle


Chapter 3
Lazy Evening, Start The Day

Suara burung terdengar begitu nyaring ditelinga, mengusik.
Pelan-pelan aku mulai membuka mata secara perlahan, sudah pagi. Ketika bangun aku merasa pusing, ugh. Semuanya serasa berputar, tapi segera berlalu ketika ku geleng-gelengkan kepalaku.
Apa yang sudah kulakukan?
Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi malam tadi, hal yang tak masuk akal. Ternyata kejadian itu hanya mimpi. Akupun menarik napas dalam-dalam. Lega. Tapi entah kenapa aku merasa menjadi manusia baru. Semuanya terlihat segar. Akupun tersenyum sambil pergi ke kamar mandi bersiap ke tempat paling membosankan di dunia.
Seperti biasanya, hari-hari sekolah begitu membosankan. Guru-guru konyol, teman teman menyebalkan, dan tentunya bau Ms. Scotty si juru masak makan siang. Tak ada yang menarik, kecuali tanda di lengan yang berbentuk huruf yang tak bisa ku mengerti, terlihat samar. Mungkin hanya bayangan saja.
Hari ini aku tidak melihat Vladimir bersaudara, entah kemana mereka pergi.
Well, hari ini terasa membosankan, memang seperti biasanya, tapi aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu.

Di tempat lain….

Di sebuah ruangan kecil, gelap dan hanya cahaya lilin yang samar menerangi, terlihat dua sosok yang sedang berdiri. Yang satu sedang berdiri mengahadap sosok yang membelakanginya. Disana terdapat kursi besar, hanya untuk satu orang. Tidak begitu jelas bagaimana sosok kursi tersebut, kursi raja.
“Bagaimana semalam? Uno?“ tanya sosok yang sedang menghadap ke jendela.
“Berjalan lancar, milord.“ jawabnya tenang dan penuh penghormatan.
“ Mmmm. Bagus. Dengan begini akan sesuai rencana kita.“
“Rencanamu, tepatnya.” Bantah Uno.
“Ya, rencanaku. Karena hanya aku yang mempunyai ide brilian seperti ini. Bahkan tidak kau! Hahahaha”
Tawa itu menggelegar di tempat tersebut. Bergema menyibak kesunyian. Sedangkan sosok yang di panggil Uno tersebut menatapnya dari belakang dengan tajam. Mata hitam dan putih tersebut terlihat siap menerkam. Dan senyum tipis mengembang. Ia membalikan badan dan berlalu melewati pintu yang terbuka sendiri dengan santai.

Sekarang…

Aku sudah sampai di rumahku, berjalan kaki dari sekolah. Ibu sedang tidur. Ia sakit, tidak terlalu parah memang tapi aku memaksanya untuk istirahat. Itu cara terbaik agar beliau tidak bertambah sakit.
Setelah berganti baju dan memakan spaghetti aku segera menuju garasi dan sedikti mengotak-atik motorku. Biasanya kupakai, tapi sekolah sedang melarang muridnya menggunakan motor. Menyebalkan. Mereka bilang agar tidak banyak polusi. Bagus.
Tak ada yang special hari ini, seperti biasa. Akupun mengunjungi Rio, rumahnya tak begitu jauh, hanya beberapa blok dari rumahku.
Sesampainya disana Rio sedang berada di teras rumahnya duduk santai.
“Yo!“
“Yo Al! Ada apa? Tumben kau datang?“
“Terserah. Ini mauku.“
“Hah, kau terlalu naïf  untuk mengatakan ‘aku rindu padamu Rio’. Hahaha. Ayo masuk.“
Akupun tersenyum jengkel dan segera masuk, entah kenapa setiap aku masuk ke rumah Rio aku selalu merasakan kedamaian. Nyaman.
Tibalah aku di dalam rumah, rumahnya cerah, di setiap sisi ada jendela yang mengarah keluar dan memberikan cahaya serta sirkulasi ke dalam. Disini sepi, orang tua Rio bekerja di departemen pemerintahan.
Akupun segera duduk di sofa empuk. Di sebelahku ada sebuah artifak berbentuk tabung berwarna putih dengan tulisan kuno yang rumit. Diatasnya ada tonjolan seperti siap dibuka, dan artifak itu berada dalam sebuah kaca. Dilindungi. Akupun terus mengamatinya.
“Itu milik Dad. Dia membawanya dari Milidian.“
“Milidian? Apa ini? Aku baru melihatnya.“
“Itu sebuah kota kecil yang takkan kau temukan. Hahaha. Itu namanya Arcus, benda magis yang mempunyai rahasia di dalamnya, tak ada yang bisa membukanya, di tempabk pun tak bisa.“
“Hmmm. Aku tak tertarik. Terserah.“
Kamipun berbincang-bincang tentang segala hal, sampai akhirnya aku menceritakan mimpiku pada Rio.
“Yang benar?“
“Ya benar, meskipun itu terdengar bohong tapi itu benar.“
“Aku membaca di buku kuno milik Dad tentang orang-orang yang ada mimpimu. Ciri-ciri yang kau katakan sama dengan yang ada dibuku, mereka adalah kelompok kuno yang mempunyai kekuatan supranatural.“
“Sihir?“
“Hampir mendekati, tapi kekuatan mereka mempunyai batasan.“
“Batasan?“ tanyaku mulai tertarik.
“Ya, misalnya kau mempunyai kekuatan angin, maka kau hanya akan bisa menguasai angin saja, kemampuan tersebut disebut nalune. Tetapi jika sihir kau bisa mengendalikan semuanya, meskipun levelnya lebih tinggi nalune.“
“Well, itu hanya omong kosong kupikir. Jadi aku tak peduli, tak ada urusannya denganku. Lagipula itu cumin mimpi.“
“Ya kau benar, mana mungkin ada hal seperti itu. Ha…“
Akupun segera pulang, hari sudah malam.
Jalanan sepi, hanya beberapa orang yang lewat, menara jam terlihat begitu indah pada malam hari, dengan bulan diatas ujungnya. Lekukan awan terlihat begitu lembut, tebaran bintang seperti kristal-kristal kecil yang ditaburkan di langit malam yang terang. Aku menikmatinya. Angin menyibak rambutku, tercium aroma bunga yang beristirahat. Harum.
Entah kenapa, aku merasa malam ini begitu damai. Kejadian ajaib itu seperti memang mimpi, meskipun seseorang bernama Zeus terasa begitu nyata. Akupun pulang menembus malam.
Seperti biasa, sesampainya dirumah aku membaringkan badanku di atas kasur. Terasa sejuk, karena cover kasur ini berbahan dingin, dengan aroma mint. Lucu. Kubuka pintu balkon dan kubiarkan angin masuk ke ruanganku. Tiba akupun terlelap dibuai sang malam…
Tak terasa hari sudah pagi, dan ini hari Sabtu, sekolah memang libur hari ini. Aku berniat pergi ke rumah Vladimir, karena sudah lama aku tidak melihat mereka berkeliaran di kota kecil ini.
Sesampainya aku di jalan tempat rumah keluarga tersebut tinggal, aku melihat sebuah rumah besar atau lebih tepatnya manor. Terkesan angker, dengan patung gargoyle diatas dua pilar bagian sisi gerbang. Ditengah gerbang terlihat ukiran unik. Aku bingung. Dimana mereka menyimpan belnya. Tiba-tiba saja gerbang terbuka dan aku terkesiap. Wow.
Pintu besar rumah itu terbuka lebar, dan seorang perempuan seusiaku keluar dengan senyum yang anggun. Aku terpana. Rambutnya berwarna coklat, sepinggang. Bajunya terkesan kuno tapi mewah.
Dan dibelakangnya aku melihat gadis yang tak aneh bagiku, Greta.
“Ternyata memang benar itu kau Valent.“ suara nyaringnya terdengar lagi.
Aku hanya menganggukan kepala sambil berjalan menghampiri mereka dengan santai melewati halaman yang besar dan indah. Menggambarkan bahwa rumah ini memang mewah. Tak seperti rumah lain dikota ini.
“Selamat datang Tuan Bloodworth. Perkenalkan namaku Santana Vladimir.“ sapa perempuan anggun itu. Sambil bersalaman denganku.
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk malu, sensasi ini begitu dahsyat, hangat. Tak seperti Greta yang dingin seperti es. Dia tahu nama belakangku, Bloodworth. Well, namaku Valentino Bloodworth. Aneh.
Begitu dipersilakan masuk, aku melangkah dengan sopan. Dalam rumah ini mengeluarkan aura aneh, terkesan seram. Banyak hiasan-hiasan yang terlihat kuno disini. Dan aku juga melihat tabung yang sama seperti di rumah Rio, hanya saja itu berwarna hitam.
“Apakah tabung itu dari Milidian?“ tanyaku penasaran.
“Milidian? Darimana kau tau kota kecil itu?“ tanya Santana dengan wajah serius. Aku terkejut.
“Oh itu. Temanku yang memberitahuku. Dia pasti bercanda bukan? Ha..“ jawabku gugup.
Santana terdiam sebentar dengan sorot mata tajan. Dan berbalik dengan dingin. Jelas, ia tak peduli. Aku juga.
“So, selamat datang Val. Aku tak menyangka kau nekat datang kesini.” Kata Greta.
“Well, ini akhir pekan bukan? Dan aku sudah lama tidak melihat kalian berdua.”
“Oh. Aku menemani Axel yang sedang sakit.”
“Bagaimana keadaanya sekarang?”
“Membaik. Tapi lebih bagus kau tidak mendatanginya. Dia sedang istirahat.”
“Ok. Aku hanya ingin tau keadaanya.”
Sampailah kami diruang keluarga yang sangat besar. Bergaya klasik, tetapi dengan beberapa perabotan elektronik. Seperti LCD, dan sebagainya. Kursi besar berada di depan TV. Tepat di sebelah kursi-kursi mewah tersebut ada kaca besar dan juga sebagai pintu untuk ke halaman samping. Tampak bunga-bunga yang indah, sebagian mereka ada yang layu. Dan aku melihat seekor srerigala. Wow.
“Itu serigala bukan?” tanyaku kagum.
“Iya.” jawab Greta riang.
Singkat. Lagipula aku tidak mau jadi orang yang menyebalkan yang suka bertanya.
Akhirnya aku dan Greta duduk bersebrangan, sedangkan Santana pergi ke dapur, membuatkan minuman. Serigala putih itu berjalan anggun kesana kemari di halaman rumah, sesekali memandang dingin kearahku, matanya berwarna merah darah, tajam. Entah kenapa, aku merasa tertarik kepada serigala itu.
“Bolehkah aku melihatnya lebih dekat?” kataku minta ijin kepada Greta. Tentu saja untuk melihat serigala itu.
“Oh. Kenapa tidak. Tapi dia tidak baik seperti yang kau kira lhoo..”
“Well. Aku kan tidak akan pernah tau kalau aku belum mencoba?” paksaku.
“Ha. Ok. Ayo sini.”
Akupun mengikuti Greta dari belakang. Akhirnya kami sampai didepan pintu yang terbuat dari kaca. Dengan lembut Greta membuka pintu, hampir tak terdengar suara yang berderit. Pada saat kami masuk, aku merasakan ketenangan. Serigala itu duduk di atas tangannya dengan tenang dan malas. Ia melirik ke arahku dengan pandangan sinis, tatapan dingin. Kemudian di memejamkan matanya sambil mengibaskan ekornya. Entah kenapa sensasi di taman ini lebih nyaman, dibandingkan di dalam rumah dengan patung setan yang menganga konyol.
“Nah ini dia, Silva.” Dengan riang Greta memperkenalkan serigala itu.
“Silva? Nama yang bagus untuk seekor serigala. Darimana kau mendapatkannya?”
“Ummm. Perburuan, ayahku menangkapnya.”
“Ngomong-ngomong dimana ayah dan ibumu? Aku merasa tak enak tanpa memperkenalkan diriku pada mereka.”
“Oh mereka sedang pergi ke Starion. Berkunjung ke rumah saudara. Kau tahu.”
“Oh ya, aku mengerti.”
Starion adalah kota besar yang menurut rumor kota itu terbentuk dari lekukan yang di buat oleh meteor jatuh.
Santana sudah selesai membuat limun dan kami pun segera ke ruang tengah.
“Disini sepi ya?” tanyaku polos.
“Ya, karena sekarang semua sedang pergi keluar kota.” Jawab Santana singkat.
“Dan kau tahu? Disini hanya ada tukang kebun yang setia melayani kami dengan jangka waktu yang lama. Hanya saja sekarang dia sedang tidur.” Tambah Greta.
“Well, apakah kalian tidak kesepian disini dengan hanya 3 orang? Maksudku, kalian kan perempuan dan tukang kebun itu…?”
“Kami sudah terbiasa. Silakan di minum limunnya.” Jawab Santana singkat.
Aku berani taruhan pasti pria tua itu memiliki banyak uban, dan raut muka membosankan. Atau apabila ia mengikuti gaya keluarga ini. Dia akan memakai pakaian rapi meski untuk berkebun.
Aku jadi penasaran, seberapa luas rumah ini. Karena kulihat masih banyak ruang-ruang lain.
Tak terasa matahari hampir tenggelam. Akupun pamit pulang.
Ketika aku sampai didepan gerbang dan menengok ke belakang, kulihat seseorang sedang duduk santai di atap rumah. Kupikir itu pencuri atau sebagainya. Tapi setelah kulihat dengan cermat sosok itu ternyata Axel. Akupun segera pergi meninggalkan tempat itu.
Aku berjalan sendirian, tanpa terasa matahari sudah tenggelam dan langit menjadi biru gelap. Saat aku melewati taman kecil, aku melihat seorang anak kecil yang rasanya tak asing bagiku. Dia ada di mimpiku. Ketika seorang perempuan yang hampir mencabiku menyebut namanya. Devina. Akupun menghampirinya dengan hati-hati.
“Halo?”
“……”
“Siapa disitu?”
“……”
Dia masih tetap diam, semakin aku mendekatinya semakin aku ingat siapa dia.
“Devina?”
“Ya.”
“Well, ternyata aku tidak mimpi waktu itu.”
“Sebentar lagi kau akan tau siapa dirimu sekarang.”
“Apa maksudmu? Apa arti kejadian malam itu? Siapa kalian?”
“Jangan terlalu banyak bertanya. Kau akan tau jika saatnya tiba. Lagipula aku sedang mencari udara segar. Dan akan  pulang sekarang.”
“Tunggu dul…”
Tiba-tiba sebuah portal muncul di belakangnya. Ia berbalik dan melangkah tenang, ketika ia sudah setengah masuk ia menoleh padaku.
“Valentino. Mulai sekarang kau harus mulai percaya pada hal yang kau anggap konyol.”
Aku hanya bisa bengong melihat dia masuk ke dalam portal gelap itu dan segera setelah itu portalpun lenyap.
Wow.

No comments:

Post a Comment