Chapter 3
Lazy Evening, Start The Day
Suara
burung terdengar begitu nyaring ditelinga, mengusik.
Pelan-pelan
aku mulai membuka mata secara perlahan, sudah pagi. Ketika bangun aku merasa
pusing, ugh. Semuanya serasa berputar, tapi segera berlalu ketika ku
geleng-gelengkan kepalaku.
Apa
yang sudah kulakukan?
Aku
berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi malam tadi, hal yang tak masuk akal.
Ternyata kejadian itu hanya mimpi. Akupun menarik napas dalam-dalam. Lega. Tapi
entah kenapa aku merasa menjadi manusia baru. Semuanya terlihat segar. Akupun
tersenyum sambil pergi ke kamar mandi bersiap ke tempat paling membosankan di
dunia.
Seperti
biasanya, hari-hari sekolah begitu membosankan. Guru-guru konyol, teman teman
menyebalkan, dan tentunya bau Ms. Scotty si juru masak makan siang. Tak ada
yang menarik, kecuali tanda di lengan yang berbentuk huruf yang tak bisa ku
mengerti, terlihat samar. Mungkin hanya bayangan saja.
Hari
ini aku tidak melihat Vladimir bersaudara, entah kemana mereka pergi.
Well,
hari ini terasa membosankan, memang seperti biasanya, tapi aku merasa ada
sesuatu yang berbeda. Entah apa itu.
Di
tempat lain….
Di
sebuah ruangan kecil, gelap dan hanya cahaya lilin yang samar menerangi,
terlihat dua sosok yang sedang berdiri. Yang satu sedang berdiri mengahadap
sosok yang membelakanginya. Disana terdapat kursi besar, hanya untuk satu
orang. Tidak begitu jelas bagaimana sosok kursi tersebut, kursi raja.
“Bagaimana
semalam? Uno?“ tanya sosok yang sedang menghadap ke jendela.
“Berjalan
lancar, milord.“ jawabnya tenang dan
penuh penghormatan.
“
Mmmm. Bagus. Dengan begini akan sesuai rencana kita.“
“Rencanamu,
tepatnya.” Bantah Uno.
“Ya,
rencanaku. Karena hanya aku yang mempunyai ide brilian seperti ini. Bahkan tidak
kau! Hahahaha”
Tawa
itu menggelegar di tempat tersebut. Bergema menyibak kesunyian. Sedangkan sosok
yang di panggil Uno tersebut menatapnya dari belakang dengan tajam. Mata hitam
dan putih tersebut terlihat siap menerkam. Dan senyum tipis mengembang. Ia
membalikan badan dan berlalu melewati pintu yang terbuka sendiri dengan santai.
Sekarang…
Aku
sudah sampai di rumahku, berjalan kaki dari sekolah. Ibu sedang tidur. Ia
sakit, tidak terlalu parah memang tapi aku memaksanya untuk istirahat. Itu cara
terbaik agar beliau tidak bertambah sakit.
Setelah
berganti baju dan memakan spaghetti aku segera menuju garasi dan sedikti
mengotak-atik motorku. Biasanya kupakai, tapi sekolah sedang melarang muridnya
menggunakan motor. Menyebalkan. Mereka bilang agar tidak banyak polusi. Bagus.
Tak
ada yang special hari ini, seperti biasa. Akupun mengunjungi Rio, rumahnya tak
begitu jauh, hanya beberapa blok dari rumahku.
Sesampainya
disana Rio sedang berada di teras rumahnya duduk santai.
“Yo!“
“Yo
Al! Ada apa? Tumben kau datang?“
“Terserah.
Ini mauku.“
“Hah,
kau terlalu naïf untuk mengatakan ‘aku
rindu padamu Rio’. Hahaha. Ayo masuk.“
Akupun
tersenyum jengkel dan segera masuk, entah kenapa setiap aku masuk ke rumah Rio
aku selalu merasakan kedamaian. Nyaman.
Tibalah
aku di dalam rumah, rumahnya cerah, di setiap sisi ada jendela yang mengarah
keluar dan memberikan cahaya serta sirkulasi ke dalam. Disini sepi, orang tua
Rio bekerja di departemen pemerintahan.
Akupun
segera duduk di sofa empuk. Di sebelahku ada sebuah artifak berbentuk tabung
berwarna putih dengan tulisan kuno yang rumit. Diatasnya ada tonjolan seperti
siap dibuka, dan artifak itu berada dalam sebuah kaca. Dilindungi. Akupun terus
mengamatinya.
“Itu
milik Dad. Dia membawanya dari Milidian.“
“Milidian?
Apa ini? Aku baru melihatnya.“
“Itu
sebuah kota kecil yang takkan kau temukan. Hahaha. Itu namanya Arcus, benda
magis yang mempunyai rahasia di dalamnya, tak ada yang bisa membukanya, di
tempabk pun tak bisa.“
“Hmmm.
Aku tak tertarik. Terserah.“
Kamipun
berbincang-bincang tentang segala hal, sampai akhirnya aku menceritakan mimpiku
pada Rio.
“Yang
benar?“
“Ya
benar, meskipun itu terdengar bohong tapi itu benar.“
“Aku
membaca di buku kuno milik Dad tentang orang-orang yang ada mimpimu. Ciri-ciri
yang kau katakan sama dengan yang ada dibuku, mereka adalah kelompok kuno yang
mempunyai kekuatan supranatural.“
“Sihir?“
“Hampir
mendekati, tapi kekuatan mereka mempunyai batasan.“
“Batasan?“
tanyaku mulai tertarik.
“Ya,
misalnya kau mempunyai kekuatan angin, maka kau hanya akan bisa menguasai angin
saja, kemampuan tersebut disebut nalune. Tetapi jika sihir kau bisa
mengendalikan semuanya, meskipun levelnya lebih tinggi nalune.“
“Well,
itu hanya omong kosong kupikir. Jadi aku tak peduli, tak ada urusannya denganku.
Lagipula itu cumin mimpi.“
“Ya
kau benar, mana mungkin ada hal seperti itu. Ha…“
Akupun
segera pulang, hari sudah malam.
Jalanan
sepi, hanya beberapa orang yang lewat, menara jam terlihat begitu indah pada
malam hari, dengan bulan diatas ujungnya. Lekukan awan terlihat begitu lembut,
tebaran bintang seperti kristal-kristal kecil yang ditaburkan di langit malam
yang terang. Aku menikmatinya. Angin menyibak rambutku, tercium aroma bunga
yang beristirahat. Harum.
Entah
kenapa, aku merasa malam ini begitu damai. Kejadian ajaib itu seperti memang
mimpi, meskipun seseorang bernama Zeus terasa begitu nyata. Akupun pulang
menembus malam.
Seperti
biasa, sesampainya dirumah aku membaringkan badanku di atas kasur. Terasa
sejuk, karena cover kasur ini berbahan dingin, dengan aroma mint. Lucu. Kubuka
pintu balkon dan kubiarkan angin masuk ke ruanganku. Tiba akupun terlelap
dibuai sang malam…
Tak
terasa hari sudah pagi, dan ini hari Sabtu, sekolah memang libur hari ini. Aku
berniat pergi ke rumah Vladimir, karena sudah lama aku tidak melihat mereka
berkeliaran di kota kecil ini.
Sesampainya
aku di jalan tempat rumah keluarga tersebut tinggal, aku melihat sebuah rumah
besar atau lebih tepatnya manor. Terkesan angker, dengan patung gargoyle diatas dua pilar bagian sisi
gerbang. Ditengah gerbang terlihat ukiran unik. Aku bingung. Dimana mereka
menyimpan belnya. Tiba-tiba saja gerbang terbuka dan aku terkesiap. Wow.
Pintu
besar rumah itu terbuka lebar, dan seorang perempuan seusiaku keluar dengan
senyum yang anggun. Aku terpana. Rambutnya berwarna coklat, sepinggang. Bajunya
terkesan kuno tapi mewah.
Dan
dibelakangnya aku melihat gadis yang tak aneh bagiku, Greta.
“Ternyata
memang benar itu kau Valent.“ suara nyaringnya terdengar lagi.
Aku
hanya menganggukan kepala sambil berjalan menghampiri mereka dengan santai
melewati halaman yang besar dan indah. Menggambarkan bahwa rumah ini memang
mewah. Tak seperti rumah lain dikota ini.
“Selamat
datang Tuan Bloodworth. Perkenalkan namaku Santana Vladimir.“ sapa perempuan
anggun itu. Sambil bersalaman denganku.
Aku
hanya bisa tersenyum dan mengangguk malu, sensasi ini begitu dahsyat, hangat.
Tak seperti Greta yang dingin seperti es. Dia tahu nama belakangku, Bloodworth.
Well, namaku Valentino Bloodworth. Aneh.
Begitu
dipersilakan masuk, aku melangkah dengan sopan. Dalam rumah ini mengeluarkan
aura aneh, terkesan seram. Banyak hiasan-hiasan yang terlihat kuno disini. Dan
aku juga melihat tabung yang sama seperti di rumah Rio, hanya saja itu berwarna
hitam.
“Apakah
tabung itu dari Milidian?“ tanyaku penasaran.
“Milidian?
Darimana kau tau kota kecil itu?“ tanya Santana dengan wajah serius. Aku
terkejut.
“Oh
itu. Temanku yang memberitahuku. Dia pasti bercanda bukan? Ha..“ jawabku gugup.
Santana
terdiam sebentar dengan sorot mata tajan. Dan berbalik dengan dingin. Jelas, ia
tak peduli. Aku juga.
“So,
selamat datang Val. Aku tak menyangka kau nekat datang kesini.” Kata Greta.
“Well,
ini akhir pekan bukan? Dan aku sudah lama tidak melihat kalian berdua.”
“Oh.
Aku menemani Axel yang sedang sakit.”
“Bagaimana
keadaanya sekarang?”
“Membaik.
Tapi lebih bagus kau tidak mendatanginya. Dia sedang istirahat.”
“Ok.
Aku hanya ingin tau keadaanya.”
Sampailah
kami diruang keluarga yang sangat besar. Bergaya klasik, tetapi dengan beberapa
perabotan elektronik. Seperti LCD, dan sebagainya. Kursi besar berada di depan
TV. Tepat di sebelah kursi-kursi mewah tersebut ada kaca besar dan juga sebagai
pintu untuk ke halaman samping. Tampak bunga-bunga yang indah, sebagian mereka
ada yang layu. Dan aku melihat seekor srerigala. Wow.
“Itu
serigala bukan?” tanyaku kagum.
“Iya.”
jawab Greta riang.
Singkat.
Lagipula aku tidak mau jadi orang yang menyebalkan yang suka bertanya.
Akhirnya
aku dan Greta duduk bersebrangan, sedangkan Santana pergi ke dapur, membuatkan
minuman. Serigala putih itu berjalan anggun kesana kemari di halaman rumah,
sesekali memandang dingin kearahku, matanya berwarna merah darah, tajam. Entah
kenapa, aku merasa tertarik kepada serigala itu.
“Bolehkah
aku melihatnya lebih dekat?” kataku minta ijin kepada Greta. Tentu saja untuk
melihat serigala itu.
“Oh.
Kenapa tidak. Tapi dia tidak baik seperti yang kau kira lhoo..”
“Well.
Aku kan tidak akan pernah tau kalau aku belum mencoba?” paksaku.
“Ha.
Ok. Ayo sini.”
Akupun
mengikuti Greta dari belakang. Akhirnya kami sampai didepan pintu yang terbuat
dari kaca. Dengan lembut Greta membuka pintu, hampir tak terdengar suara yang
berderit. Pada saat kami masuk, aku merasakan ketenangan. Serigala itu duduk di
atas tangannya dengan tenang dan malas. Ia melirik ke arahku dengan pandangan
sinis, tatapan dingin. Kemudian di memejamkan matanya sambil mengibaskan
ekornya. Entah kenapa sensasi di taman ini lebih nyaman, dibandingkan di dalam
rumah dengan patung setan yang menganga konyol.
“Nah
ini dia, Silva.” Dengan riang Greta memperkenalkan serigala itu.
“Silva?
Nama yang bagus untuk seekor serigala. Darimana kau mendapatkannya?”
“Ummm.
Perburuan, ayahku menangkapnya.”
“Ngomong-ngomong
dimana ayah dan ibumu? Aku merasa tak enak tanpa memperkenalkan diriku pada
mereka.”
“Oh
mereka sedang pergi ke Starion. Berkunjung ke rumah saudara. Kau tahu.”
“Oh
ya, aku mengerti.”
Starion
adalah kota besar yang menurut rumor kota itu terbentuk dari lekukan yang di
buat oleh meteor jatuh.
Santana
sudah selesai membuat limun dan kami pun segera ke ruang tengah.
“Disini
sepi ya?” tanyaku polos.
“Ya,
karena sekarang semua sedang pergi keluar kota.” Jawab Santana singkat.
“Dan
kau tahu? Disini hanya ada tukang kebun yang setia melayani kami dengan jangka
waktu yang lama. Hanya saja sekarang dia sedang tidur.” Tambah Greta.
“Well,
apakah kalian tidak kesepian disini dengan hanya 3 orang? Maksudku, kalian kan
perempuan dan tukang kebun itu…?”
“Kami
sudah terbiasa. Silakan di minum limunnya.” Jawab Santana singkat.
Aku
berani taruhan pasti pria tua itu memiliki banyak uban, dan raut muka
membosankan. Atau apabila ia mengikuti gaya keluarga ini. Dia akan memakai
pakaian rapi meski untuk berkebun.
Aku
jadi penasaran, seberapa luas rumah ini. Karena kulihat masih banyak
ruang-ruang lain.
Tak
terasa matahari hampir tenggelam. Akupun pamit pulang.
Ketika
aku sampai didepan gerbang dan menengok ke belakang, kulihat seseorang sedang
duduk santai di atap rumah. Kupikir itu pencuri atau sebagainya. Tapi setelah
kulihat dengan cermat sosok itu ternyata Axel. Akupun segera pergi meninggalkan
tempat itu.
Aku
berjalan sendirian, tanpa terasa matahari sudah tenggelam dan langit menjadi
biru gelap. Saat aku melewati taman kecil, aku melihat seorang anak kecil yang
rasanya tak asing bagiku. Dia ada di mimpiku. Ketika seorang perempuan yang
hampir mencabiku menyebut namanya. Devina. Akupun menghampirinya dengan
hati-hati.
“Halo?”
“……”
“Siapa
disitu?”
“……”
Dia
masih tetap diam, semakin aku mendekatinya semakin aku ingat siapa dia.
“Devina?”
“Ya.”
“Well,
ternyata aku tidak mimpi waktu itu.”
“Sebentar
lagi kau akan tau siapa dirimu sekarang.”
“Apa
maksudmu? Apa arti kejadian malam itu? Siapa kalian?”
“Jangan
terlalu banyak bertanya. Kau akan tau jika saatnya tiba. Lagipula aku sedang
mencari udara segar. Dan akan pulang
sekarang.”
“Tunggu
dul…”
Tiba-tiba
sebuah portal muncul di belakangnya. Ia berbalik dan melangkah tenang, ketika
ia sudah setengah masuk ia menoleh padaku.
“Valentino.
Mulai sekarang kau harus mulai percaya pada hal yang kau anggap konyol.”
Aku
hanya bisa bengong melihat dia masuk ke dalam portal gelap itu dan segera
setelah itu portalpun lenyap.
Wow.
No comments:
Post a Comment