Wednesday, June 13, 2012

Puzzle


Chapter 2
Into The Absurd

Sesampainya disana, aku hanya melihat lapangan dan reruntuhan kosong, sepi, tidak ada siapa-siapa. Aku menengok kesana kemari, nihil. Aku mulai berpikir, mungkin ini hanya tipuan belaka? Tapi siapa orang itu? Akupun melihat kertas di tengah lapang dan segera berlari untuk mengambilnya sebelum tertiup angin. Saat kertas itu kuambil, ternyata kosong, meskipun aku membolak-baliknya sampai tanganku pegal, tetap saja kertas itu kosong.
Aku berdiri terdiam di tengah lapang, tengah malam dan sendirian. Jika kau mencari 10 besar orang terbodoh di dunia, maka kau akan melihat namaku paling atas, dengan rekor mau saja di bodohi datang ke reruntuhan kosong di malam hari!
Pikiranku mundur pada saat pertemuan dengan pria besar tadi, siapa dia? Apa maksudnya ini? Well, mungkin dengan pertanyaan seperti itu cerita ini tampak lebih seperti drama dengan aku sebagai pemeran utama yang histeris. Hentikan.
Tiba-tiba aku merasakan ada aura yang terasa aneh. Aura ini begitu membuai, aku serasa diterbangkan olehnya. Pada saat aku menoleh ke belakang, ternyata ada seorang perempuan berambut pirang sampai lutut kaki, badannya ideal. Ditambah dengan jubah hitamnya kesan misterius semakin terlihat. Siapa dia? Apa dia bagian dari rencana ini?
“Hm. Jadi ini pria yang disebut-sebut Devina. Apa spesialnya?“ katanya tajam, setajam pisau.
Aku melongo tak mengerti, tak mampu berbicara.
“Kau panggilan Zeus?“
“Zeus? Siapa dia?“ seingatku tidak ada nama Zeus dalam daftar nama konyolku.
“Bodoh.“
Kemudian aku teringat akan laki-laki tadi pagi, namanya Zeus. Tak diragukan lagi.
“So, apa yang bisa kau lakukan?“ tanyanya dingin.
“Yang bisa kulakukan? Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh.“
“Kau tidak tau mengapa kau dipanggil kesini?“ nadanya mengejek.
Aku semakin tegang, mata wanita berubah menjadi merah darah dengan hitam pekat di tengahnya. Tiba-tiba aku melihat sesosok lain dengan gaun hitam, anak perempuan dengan umur kira-kira 7 tahun. Matanya putih bening, tanpa ekspresi. Dan entah kenapa aku tidak bisa merasakan auranya, semuanya hampa. Anak perempuan itu memegang jubah si perempuan dan mengangguk pelan.
“Oh Devina, hampir saja aku menerkam anak itu. Yang lain sudah datang?“ nadanya berubah agak ramah, walau agak menyebalkan kedengerannya.
“Kau bodoh ya Aquilla. Dia masih mentah dan dia mempunyai ‘potensi’.” Kata seseorang yang suaranya agak aku kenal.
“Cih. Beraninya kau memanggilku bodoh.” balas Aquilla sinis.
“Terserah.” Balas Zeus. Aku tau begitu sosok besar itu terlihat.
Tiba-tiba aura sekelilingku merasa berubah drastic, entah kenapa beban itu terasa berat di pundakku. Beban apa? Aku tidak mengerti. Setelah sepersekian detik aku mulai bangkit mencoba menahannya. Sosok-sosok lain berdatangan.
Ya, mereka datang dari segala arah. Kira-kira jumlah mereka ada 11, dan aku melihat Zeus berjalan bersebelahan dengan seseorang yang lebih kurus darinya. Senyum Zeus mengembang jahat, sedangkan orang disebelahnya hanya terpejam sambil berjalan seirama.
Ada apa ini?
Sampai saatnya mereka datang dan mengelilingiku tidak beraturan. Apa mereka gangster? Apa salahku?
Tiba-tiba persis di depan pintu reruntuhan muncul sesuatu yang gelap dan membesar membentuk menjadi sebuah pintu tanpa pintu. Mengerti? Dalamnya sangat gelap, meski kau berusaha melihat dengan apapun akan tetap saja gelap. Seorang manusia keluar dari portal itu. Aku semakin tegang dan takut. Tak mengerti. Ingin rasanya hujan meteor datang ke tempatku berdiri dan hari ini akan berakhir.
Sosok itu semakin nyata. Memang nyata setelah portal itu meredup.
Ia memakai jubah putih, berbeda dengan yang lainnya. Rambutnya pirang disisir ke belakang, ekspresinya lurus, tak berperasaan. Matanya mempunyai dua warna, hitam dan putih pekat. Siapa dia? Atau lebih tepatnya apa dia? Senyumnya mengembang. Ditambah dia melayang diatas tanah.
“Jadi ini pilihanmu Lord?“ tanya Zeus.
“Ya. Ada masalah?“ jawabnya tenang setenang danau dingin yang dalam.
Zeus hanya mendesis dan aku semakin tidak mengerti. Aku belum siap mati. Oh sial, bahkan disaat klimaks seperti ini aku sempat berpikir akan mati. Ha!
“Apa spesialnya anak ini?“ tanya orang yang berada di dekat Zeus, dia seumuran denganku. 17 tahun. Lalu dia membuka hood-nya. Rambutnya berwarna putih dan saat membuka matanya aku terkejut, kedua mata itu merah dan biru, tatapannya kosong.
“Oh, tenanglah Abellio. Dia tak akan mampu menandingimu, atau belum. Haha..” ejek seseorang (lagi) yang berada di atas pohon oak. Masih memakai hood-nya. Dan aku mendengar anak yang dipanggil Abellio itu mendesis.
“Kita hentikan basa-basi ini?“ kata Lord (begitu panggil mereka) dingin.
Seketika itu juga tempat ini menjadi sepi, aku menelan ludah dengan susah payah. Kenapa aku takut? Mungkin karena mereka sekelompok orang aneh yang berusaha mempermainkan anak bodoh sepertiku. Entah kenapa rasa dingin begitu menusuk ketika Lord melayang ke arahku dengan anggunnya. Berani taruhan, dia pasti banyak menyimpan gaun perempuan di lemarinya. Tetap saja, meski aku berusaha membuat lelucon untuk menenangkan diriku yang panic tak terkira ini, itu tak berhasil. Sungguh.
Aku merapatkan kepalan tanganku dan menggertakan gigiku dengan rapat. Tegang. Aku memang bodoh. Keringat dingin bercucuran.
Aku terkesiap ketika Lord sudah berada di depanku. Matanya yang hitam-putih begitu tajam dan kosong.
Ia mengangkat tangan kanannya kearah dahiku. Dan menempelkannya. Terasa terjun kedalam kegelapan. Semuanya gelap. Aku terbawa arus air yang besar ke danau yang luas, gelap, dan dalam. Aku berpikir makhluk apa saja yang hidup disini?
Tiba-tiba kakiku di tarik oleh sesuatu ke dasar danau. Aku terkejut. Kenapa aku tak bisa berteriak, kenapa tak ada keinginan untuk berontak? Pada saat sedang meluncur kebawah tiba-tiba ada gua, gua yang bergerak. Atau lebih tepatnya mulut seekor ikan(?) yang amat sangat besar dan aku hanya melongo. Aku masuk kedalamnya.
Di dalam sini luas, terdapat berbagai macam tulisan yang tak ku mengerti di dindingnya. Lalu tulisan-tulisan itu bercahaya dan mulai lepas dari dinding menuju ke arahku yang sedang terapung tak berdaya, mengeliliku.
Dalam sekejap tulisan itu masuk ke dalam tubuhku, aku merasakan sensasi luar biasa. Tubuhku terasa panas, juga dingin. Aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya meronta. Rasanya seperti disengat dari luar dan dalam. Apa ini? Kepalaku serasa dibakar, sakit sekali.
Kilasan memori muncul seperti lampu yang terang dan redup dengan begitu cepatnya. Aku berlari didalamnya, berlari ketakutan tanpa arah di sebuah lapangan yang luas dan tak berujung. Kenapa aku berlari? Dimana ini? Apa yang terjadi?
Aku masih meronta kesakitan, pakaianku robek dan hilang dalam ketiadaan. Aku mengejang, tak kuat menahan rasa sakit. Seketika itu juga aku terlempar keluar dari mulut makhluk itu, meluncur dengan kecepatan turbo ke permukaan. Dan ketika aku berada di udara aku tetap terapung di udara yang hampa dan sunyi, ketika aku membuka mata aku melihat titik cahaya kecil di langit, semakin membesar dan menuju ke arahku. Aku panik, tapi tak ada niat untuk menghindar, kubiarkan cahaya itu menembakku.
Badanku terasa hangat, nyaman. Cahaya itu masuk ke dalam tubuhku dengan cepat, semuanya. Tiba-tiba cahaya keluar dari semua celah tubuhku, disusul dengan kegelapan yang keluar dari tubuhku dan berbaur dengan cahaya itu. Semuanya lenyap. Terasa sesak, sakit dadaku, terlalu sakit. Aku tak bisa bernapas. Gelap….

No comments:

Post a Comment