Chapter 4
Hell-O Power…!
Aku
bangun dengan rasa bingung, entah kenapa kejadian malam kemarin sangat aneh.
Tapi aku percaya itu terjadi. Harus. Entah mengapa meskipun aku selalu berpikir
hal itu absurd tapi aku merasa itu nonabsurd. Setidaknya.
Matahari
bebas masuk ke ruanganku. Dan aku melihat langit yang cerah. Pemandangan yang
sukar didapat di kota kecil ini. Ibuku libur kerja, aku bisa mendengar suara
dapur yang jarang sekali terdengar di bawah. Setelah mencuci muka aku segera
turun ke bawah.
“Hai
mum.”
“Hai
Al. Bagaimana tidurmu? Kau pulang jam berapa semalam? Ibu tidak sempat
melihatmu semalam, kerja lembur benar-benar membuatku lelah. Haaaaahh….”
“Nyenyak,
aku pulang tidak terlalu larut. Ya aku melihat ibu di kamar tertidur sambil
mendengar lagu grup band Machiato.”
Ibuku
hanya melirik tersenyum. Macchiato. Grup band yang sudah ketinggalan jaman,
dengan lagu slow mereka yang mampu membuatmu kembali menjadi orang tua
membosankan dengan kutil di bokong. Lagu kenangan mum dan dad. Dulu.
“Oh
Al, bisa kau carikan pin ibu yang hilang?”
“Pin?
Dimana ibu menghilangkannya?”
“Ibu
takkan bertanya jika ibu tau. Cepat ya, ibu mau pergi belanja dengan
teman-teman ibu.”
“Ok.”
Akupun
segera meninggalkan dapur dan pergi ke ruang tengah. Kucari disana-sini tapi
tetap tidak ada. Bahkan di bawah kursi sekalipun. Aku mulai focus pada pencarian
pin. Benda kecil. Tiba-tiba saja aku melangkah ke dapur. Lagi. Dan menemukan
pin di dekat mesin kopi. Aku tau itu disana. Entah darimana.
“Nih
mum. Kau pasti malam lupa mengambilnya kembali.”
“Thank’s
Al. Kau yang terbaik.”
“Dan
hanya satu.”
Mum
hanya tersenyum lembut dan segera pergi ke luar.
“Jangan
lupa makan siang. Aku tidak akan lama!” teriak mum dari luar.
Sekarang
aku sendirian. Kenapa aku bisa menemukan pin itu? Aku merasa ada yang
memberitahuku letak pin tersebut. Mungkin hanya keberuntungan saja. Sesekali
aku melihat mobil lewat. Ada bus lollipop dengan wanita gemuk berpipi merah
sedang memegang lollipop seperti microphone, dan di bawahnya bertuliskan “Lol
is Sing. Sing is Lol”. Tak masuk akal. Yang tambah membuatku bosan yaitu
seorang pedagang es krim yang sudah tua, dia sudah tua ketika aku masih bermain
bola kecil. Dan sekarang aku mulai merasa kasihan padanya. Berani taruhan, dia
belum punya istri. Hal itu terlihat dari cara dia memandang bokong perempuan
tua yang senasib dengannya.
Tanpa
terasa waktu begitu cepat berlalu, yang kulakukan hanya menonton acara-acara
yang kurang bermutu. Aku mulai merasa lapar, akupun pergi ke dapur. Tapi aku
tak menemukan makanan yang siap santap. Menyebalkan. Terpaksa aku harus
membuatnya sendiri. Mungkin aku hanya akan membuat beberapa sosis dan bakso
udang rebus. Masakan tergampang. Well, sebenarnya aku bias saja mampir ke café,
tapi aku terlalu malas untuk pergi kesana. Akupun segera menyalakan kompor dan
kubirakan air di panic mendidih. Sambil aku menunggu aku pergi ke atas untuk
mengambil handphone-ku.
Sesampainya
diatas aku tidak bisa menemukan benda yang kucari. Tiba-tiba aku melihat
seseorang berdiri di depan gerbang rumahku, aku melihatnya melalui jendela
kamarku. Dia seumuran denganku, berambut putih. Dia meliriku dan tersenyum
dingin, lalu segera berbalik dan pergi.
Satu
hal yang membuatku tertarik. Dia ada dalam mimpiku. Si mata merah biru.
Abellio. Entah mengapa aku mengingatnya.
Tiba-tiba
aku mencium bau gosong. Seketika aku teringat kompor yang aku nyalakan di bawah
tadi. Akupun segera berlari ke bawah. Dan memang benar, api sudah menjalar
kemana-mana. Aku berpikir sejenak, darimana api itu dating? Aku merasa tadi
tidak ada benda yang dapat memicunya.
Akupun
segera menghubungi pemadam kebakaran. Tetapi nihil, tidak ada koneksi untuk
menelpon. Aku bingung, lalu aku segera berlari ke kamar mandi dan menyiram api.
Nihil. Api terlalu besar. Sekarang aku berada di tengah api, aku tak bias
keluar. Panas, pengap. Akupun berteriak minta tolong. Nihil. Apakah kebakaran
ini tidak ada yang bias melihat?
Api
semakin membesar. Aku semakin bingung dan takut. Jujur. Tak lama kemudian aku
mendengar sesuatu pecah melepas ke udara. Aku mulai mendengar suara orang-orang
diluar. Ramai. Diantara suara itu aku mendengar suara ibuku memanggilku dan
orang lain untuk membantu memadamkan api. Aku bisa mendengar suara api yang
bereaksi dengan air. Api terlalu besar, tak bisa di padamkan. Hidupku berakhir
disini, setidaknya itu yang terlintas di benakku. Aku berteriak dalam hati,
“Api, padamlah. Aku belum ingin mati.” Aku terus mengulang kata itu dalam hati
dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu takut untuk mati.
Aku
pejamkan mata, lalu aku mengatakan kalimat itu lagi.
Aku
bisa mencium bau obat, menyengat sekali. Mataku terpejam, bau itu memaksaku
untuk bangun, kubuka mataku secara perlahan dan mataku terasa perih, kupejamkan
kembali secara spontan. Kudengar suara bisikan orang-orang, bisikan mereka
begitu lirih, diantara mereka ada suara ibuku yang mengucapkan terima kasih
berulang-ulang.
Akupun
membuka mataku secara perlahan lagi, dan akhirnya mataku terbuka, aku dalam
posisi tidur, kulihat lampu putih terang.
“Dia
sudah sadar.”
Itu
suara ibuku, terdengar gembira dan langsung menghampiriku disusul beberapa
orang di belakangnya, Rio dan ibunya Areshma Eclat. Areshma adalah perempuan
berambut pirang dengan mata berwarna hijau cerah, tubuhnya ramping dan kulitnya
cerah.
Ibu
langsung memeluku.
“Syukurlah
kau tak apa-apa, lain kali hati-hatilah!”
Aku
hanya tersenyum pahit, entah kenapa perasaanku agak kurang enak, mungkin ini
akibat rasa bersalahku.
“Ibu,
bagaimana rumah kita?”
“Oh,
mungkin Rio bisa menceritakannya. Ibu pingsan, karena terlalu khawatir.”
Akupun
melirik pada Rio.
“Rumahmu
tidak apa-apa, bahkan pemadam kebakaranpun tidak membantu.”
“Tidak
membantu? Tapi apinya padamkan?”
“Iya,
padam tanpa air.”
“Apa
maksudmu?”
“Begini
Al…”
Tiba-tiba
Areshma memotong pembicaraan.
“Valent,
kau harus banyak istirahat dulu. Jangan terlalu dipikirkan kecelakaan tersebut.
Setidaknya biarkan fisik dan mentalmu merasa damai.”
“Oh,
baiklah kalau begitu.”
Akupun
berbaring kembali, semuanya pergi membiarkanku untuk beristirahat. Aku masih
bingung dengan apa yang Rio katakana, rasanya dia mengatakan bahwa api padam
tanpa air. Intinya. Tapi aku tidak mau memikirkan hal rumit dulu. Aku pejamkan
mataku lagi. Aku masih ingin tidur, aku lelah…
***
Tak
terasa hari sudah malam, aku tidak bisa tidur lagi, tidur selama 15 jam (kurang
lebih) benar-benar membuat mataku perih untuk memejamkan mata kembali. Aku melihat
keluar melalui jendela, bulan bersinar terang. Tanpa bintang. Hanya ada awan
malam yang menyelimuti bulan. Akupun beranjak dari tempat tidurku, lebih
mendekat ke jendela. Cahaya ruangan hanya dipenuhi cahaya bulan, aku sengaja
mematikan lampu. Aku suka gelap.
Kubuka
jendela lebar-lebar, kurasakan angin malam yang masuk ke ruanganku, terasa
sejuk sekali.
“Valent…”
bisik suara yang entah darimana.
Akupun
membalikan badan. Tidak ada siapa-siapa.
“Valent
Bloodworth…”
Aku
semakin kalut, galau tidak tahu siapa dan darimana asal suara itu.
“Hebat
juga gelagatmu, Valent…”
Kini
aku melihat sosok asal suara itu, tepat sedang duduk di sofa dengan santai,
orang berjubah hitam, bermata merah biru, Abellio. Aku agak terkejut, tapi aku
sudah merasa agak terbiasa dengan hal ini.
“Bagaimana
kau bisa masuk?” sebenarnya aku juga sadar, pertanyaan dramatisir.
“Kau
tak perlu tau bodoh.”
“Apa
maumu? Aku melihatmu sebelum kebakaran!”
“Tapi
kau berhasil memadamkannya.”
“Apa
maksud…”
Tiba-tiba
aku dikelilingi oleh asap tebal berwarna hitam pekat.
“Hentikan
Umbra, dia belum ‘sempurna’.”
Tiba-tiba
dari asap tersebut ada tonjolan yang membentuk seperti bola dan akhirnya
mebentuk menjadi kepala manusia. Aku dapat melihat matanya yang putih pekat
dari asap tersebut. Hanya asap. Aku susah bergerak.
“Oh,
dan seharusnya kau tidak mengatakan hal itu, Abe…”
Sosok
itu menyeringai jahat. Suara itu yang memanggilku tadi. Menyeramkan. Kemudian
sosok asap tersebut menjauh dariku dan menghampiri Abellio, lalu duduk di
sampingnya. Asap itu memadat, sekarang asap itu berbentuk manusia, dan akhirnya
asap itu memang manusia. Seumuran dengan Abellio, matanya putih pekat, kulitnya
coklat, rambutnya bewarna biru gelap pekat dan dia mempunyai sayap kecil di
belakang, sayap itu berwarna hitam, sayap seperti iblis.
“Aku
heran kenapa Lord memilih anak ini, aku bahkan tidak bisa merasakan kegelapan
dalam dirinya.”
“Belum,
mungkin. Tapi setidaknya kita menghormati Devina. Dia belum sempurna.”
“Lalu?”
“Saat
dia sempurna…kau taulah.”
Aku
hanya berdiri tegang tak mengerti, sinar bulan justru mendukung suasana aneh
ini. Misterius.
“Hmm..bolehkah
aku ikut dalam pembicaraan?” potongku mencairkan ketakutanku.
“Woaa,
berani sekali dia berbicara seperti itu pada kita!?” kata si hitam, atau kalau
tidak salah Abellio memanggilnya Umbra.
“Memangnya
kita siapa? Biarkan saja, nanti dia akan jadi salah satu dari kita.” Balas
Abellio dingin sambil beranjak.
Aku
semakin tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Ketika aku membuka
mulut untuk berbicara, tiba-tiba Abellio memotong.
“Ayo
Umbra, aku bosan.”
“Sudah
mau pergi? Baiklah, baiklah…”
“Selamat
tinggal, Valentino.”
“Bye
Valent, pertemuan yang kurang berkesan.”
Lalu
dalam sekejap mereka masuk dalam portal. Menghilang dalam kegelapan.
Aku
tetap berdiri seperti orang bodoh yang baru melihat hantu. Kemudian aku
berjalan perlahan menuju ranjang dan kembali dengan posisi orang sakit. Aku
menyandarkan kepalaku di bantal, berusaha meyakinkan kalau kejadian tadi hanya
khayalan semata, tidak nyata. Aku meyakinkan pada diriku kalau aku mengalami
gangguan saraf, dan pada saat besok bangun aku akan menjadi manusia baru.
Seutuhnya.
No comments:
Post a Comment