Monday, June 18, 2012

Puzzle

Chapter 4
Hell-O Power…!

Aku bangun dengan rasa bingung, entah kenapa kejadian malam kemarin sangat aneh. Tapi aku percaya itu terjadi. Harus. Entah mengapa meskipun aku selalu berpikir hal itu absurd tapi aku merasa itu nonabsurd. Setidaknya.
Matahari bebas masuk ke ruanganku. Dan aku melihat langit yang cerah. Pemandangan yang sukar didapat di kota kecil ini. Ibuku libur kerja, aku bisa mendengar suara dapur yang jarang sekali terdengar di bawah. Setelah mencuci muka aku segera turun ke bawah.
“Hai mum.”
“Hai Al. Bagaimana tidurmu? Kau pulang jam berapa semalam? Ibu tidak sempat melihatmu semalam, kerja lembur benar-benar membuatku lelah. Haaaaahh….”
“Nyenyak, aku pulang tidak terlalu larut. Ya aku melihat ibu di kamar tertidur sambil mendengar lagu grup band Machiato.”
Ibuku hanya melirik tersenyum. Macchiato. Grup band yang sudah ketinggalan jaman, dengan lagu slow mereka yang mampu membuatmu kembali menjadi orang tua membosankan dengan kutil di bokong. Lagu kenangan mum dan dad. Dulu.
“Oh Al, bisa kau carikan pin ibu yang hilang?”
“Pin? Dimana ibu menghilangkannya?”
“Ibu takkan bertanya jika ibu tau. Cepat ya, ibu mau pergi belanja dengan teman-teman ibu.”
“Ok.”
Akupun segera meninggalkan dapur dan pergi ke ruang tengah. Kucari disana-sini tapi tetap tidak ada. Bahkan di bawah kursi sekalipun. Aku mulai focus pada pencarian pin. Benda kecil. Tiba-tiba saja aku melangkah ke dapur. Lagi. Dan menemukan pin di dekat mesin kopi. Aku tau itu disana. Entah darimana.
“Nih mum. Kau pasti malam lupa mengambilnya kembali.”
“Thank’s Al. Kau yang terbaik.”
“Dan hanya satu.”
Mum hanya tersenyum lembut dan segera pergi ke luar.
“Jangan lupa makan siang. Aku tidak akan lama!” teriak mum dari luar.
Sekarang aku sendirian. Kenapa aku bisa menemukan pin itu? Aku merasa ada yang memberitahuku letak pin tersebut. Mungkin hanya keberuntungan saja. Sesekali aku melihat mobil lewat. Ada bus lollipop dengan wanita gemuk berpipi merah sedang memegang lollipop seperti microphone, dan di bawahnya bertuliskan “Lol is Sing. Sing is Lol”. Tak masuk akal. Yang tambah membuatku bosan yaitu seorang pedagang es krim yang sudah tua, dia sudah tua ketika aku masih bermain bola kecil. Dan sekarang aku mulai merasa kasihan padanya. Berani taruhan, dia belum punya istri. Hal itu terlihat dari cara dia memandang bokong perempuan tua yang senasib dengannya.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu, yang kulakukan hanya menonton acara-acara yang kurang bermutu. Aku mulai merasa lapar, akupun pergi ke dapur. Tapi aku tak menemukan makanan yang siap santap. Menyebalkan. Terpaksa aku harus membuatnya sendiri. Mungkin aku hanya akan membuat beberapa sosis dan bakso udang rebus. Masakan tergampang. Well, sebenarnya aku bias saja mampir ke café, tapi aku terlalu malas untuk pergi kesana. Akupun segera menyalakan kompor dan kubirakan air di panic mendidih. Sambil aku menunggu aku pergi ke atas untuk mengambil handphone-ku.
Sesampainya diatas aku tidak bisa menemukan benda yang kucari. Tiba-tiba aku melihat seseorang berdiri di depan gerbang rumahku, aku melihatnya melalui jendela kamarku. Dia seumuran denganku, berambut putih. Dia meliriku dan tersenyum dingin, lalu segera berbalik dan pergi.
Satu hal yang membuatku tertarik. Dia ada dalam mimpiku. Si mata merah biru. Abellio. Entah mengapa aku mengingatnya.
Tiba-tiba aku mencium bau gosong. Seketika aku teringat kompor yang aku nyalakan di bawah tadi. Akupun segera berlari ke bawah. Dan memang benar, api sudah menjalar kemana-mana. Aku berpikir sejenak, darimana api itu dating? Aku merasa tadi tidak ada benda yang dapat memicunya.
Akupun segera menghubungi pemadam kebakaran. Tetapi nihil, tidak ada koneksi untuk menelpon. Aku bingung, lalu aku segera berlari ke kamar mandi dan menyiram api. Nihil. Api terlalu besar. Sekarang aku berada di tengah api, aku tak bias keluar. Panas, pengap. Akupun berteriak minta tolong. Nihil. Apakah kebakaran ini tidak ada yang bias melihat?
Api semakin membesar. Aku semakin bingung dan takut. Jujur. Tak lama kemudian aku mendengar sesuatu pecah melepas ke udara. Aku mulai mendengar suara orang-orang diluar. Ramai. Diantara suara itu aku mendengar suara ibuku memanggilku dan orang lain untuk membantu memadamkan api. Aku bisa mendengar suara api yang bereaksi dengan air. Api terlalu besar, tak bisa di padamkan. Hidupku berakhir disini, setidaknya itu yang terlintas di benakku. Aku berteriak dalam hati, “Api, padamlah. Aku belum ingin mati.” Aku terus mengulang kata itu dalam hati dengan sungguh-sungguh. Aku terlalu takut untuk mati.
Aku pejamkan mata, lalu aku mengatakan kalimat itu lagi.
Aku bisa mencium bau obat, menyengat sekali. Mataku terpejam, bau itu memaksaku untuk bangun, kubuka mataku secara perlahan dan mataku terasa perih, kupejamkan kembali secara spontan. Kudengar suara bisikan orang-orang, bisikan mereka begitu lirih, diantara mereka ada suara ibuku yang mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
Akupun membuka mataku secara perlahan lagi, dan akhirnya mataku terbuka, aku dalam posisi tidur, kulihat lampu putih terang.
“Dia sudah sadar.”
Itu suara ibuku, terdengar gembira dan langsung menghampiriku disusul beberapa orang di belakangnya, Rio dan ibunya Areshma Eclat. Areshma adalah perempuan berambut pirang dengan mata berwarna hijau cerah, tubuhnya ramping dan kulitnya cerah.
Ibu langsung memeluku.
“Syukurlah kau tak apa-apa, lain kali hati-hatilah!”
Aku hanya tersenyum pahit, entah kenapa perasaanku agak kurang enak, mungkin ini akibat rasa bersalahku.
“Ibu, bagaimana rumah kita?”
“Oh, mungkin Rio bisa menceritakannya. Ibu pingsan, karena terlalu khawatir.”
Akupun melirik pada Rio.
“Rumahmu tidak apa-apa, bahkan pemadam kebakaranpun tidak membantu.”
“Tidak membantu? Tapi apinya padamkan?”
“Iya, padam tanpa air.”
“Apa maksudmu?”
“Begini Al…”
Tiba-tiba Areshma memotong pembicaraan.
“Valent, kau harus banyak istirahat dulu. Jangan terlalu dipikirkan kecelakaan tersebut. Setidaknya biarkan fisik dan mentalmu merasa damai.”
“Oh, baiklah kalau begitu.”
Akupun berbaring kembali, semuanya pergi membiarkanku untuk beristirahat. Aku masih bingung dengan apa yang Rio katakana, rasanya dia mengatakan bahwa api padam tanpa air. Intinya. Tapi aku tidak mau memikirkan hal rumit dulu. Aku pejamkan mataku lagi. Aku masih ingin tidur, aku lelah…
***
Tak terasa hari sudah malam, aku tidak bisa tidur lagi, tidur selama 15 jam (kurang lebih) benar-benar membuat mataku perih untuk memejamkan mata kembali. Aku melihat keluar melalui jendela, bulan bersinar terang. Tanpa bintang. Hanya ada awan malam yang menyelimuti bulan. Akupun beranjak dari tempat tidurku, lebih mendekat ke jendela. Cahaya ruangan hanya dipenuhi cahaya bulan, aku sengaja mematikan lampu. Aku suka gelap.
Kubuka jendela lebar-lebar, kurasakan angin malam yang masuk ke ruanganku, terasa sejuk sekali.
“Valent…” bisik suara yang entah darimana.
Akupun membalikan badan. Tidak ada siapa-siapa.
“Valent Bloodworth…”
Aku semakin kalut, galau tidak tahu siapa dan darimana asal suara itu.
“Hebat juga gelagatmu, Valent…”
Kini aku melihat sosok asal suara itu, tepat sedang duduk di sofa dengan santai, orang berjubah hitam, bermata merah biru, Abellio. Aku agak terkejut, tapi aku sudah merasa agak terbiasa dengan hal ini.
“Bagaimana kau bisa masuk?” sebenarnya aku juga sadar, pertanyaan dramatisir.
“Kau tak perlu tau bodoh.”
“Apa maumu? Aku melihatmu sebelum kebakaran!”
“Tapi kau berhasil memadamkannya.”
“Apa maksud…”
Tiba-tiba aku dikelilingi oleh asap tebal berwarna hitam pekat.
“Hentikan Umbra, dia belum ‘sempurna’.”
Tiba-tiba dari asap tersebut ada tonjolan yang membentuk seperti bola dan akhirnya mebentuk menjadi kepala manusia. Aku dapat melihat matanya yang putih pekat dari asap tersebut. Hanya asap. Aku susah bergerak.
“Oh, dan seharusnya kau tidak mengatakan hal itu, Abe…”
Sosok itu menyeringai jahat. Suara itu yang memanggilku tadi. Menyeramkan. Kemudian sosok asap tersebut menjauh dariku dan menghampiri Abellio, lalu duduk di sampingnya. Asap itu memadat, sekarang asap itu berbentuk manusia, dan akhirnya asap itu memang manusia. Seumuran dengan Abellio, matanya putih pekat, kulitnya coklat, rambutnya bewarna biru gelap pekat dan dia mempunyai sayap kecil di belakang, sayap itu berwarna hitam, sayap seperti iblis.
“Aku heran kenapa Lord memilih anak ini, aku bahkan tidak bisa merasakan kegelapan dalam dirinya.”
“Belum, mungkin. Tapi setidaknya kita menghormati Devina. Dia belum sempurna.”
“Lalu?”
“Saat dia sempurna…kau taulah.”
Aku hanya berdiri tegang tak mengerti, sinar bulan justru mendukung suasana aneh ini. Misterius.
“Hmm..bolehkah aku ikut dalam pembicaraan?” potongku mencairkan ketakutanku.
“Woaa, berani sekali dia berbicara seperti itu pada kita!?” kata si hitam, atau kalau tidak salah Abellio memanggilnya Umbra.
“Memangnya kita siapa? Biarkan saja, nanti dia akan jadi salah satu dari kita.” Balas Abellio dingin sambil beranjak.
Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Ketika aku membuka mulut untuk berbicara, tiba-tiba Abellio memotong.
“Ayo Umbra, aku bosan.”
“Sudah mau pergi? Baiklah, baiklah…”
“Selamat tinggal, Valentino.”
“Bye Valent, pertemuan yang kurang berkesan.”
Lalu dalam sekejap mereka masuk dalam portal. Menghilang dalam kegelapan.
Aku tetap berdiri seperti orang bodoh yang baru melihat hantu. Kemudian aku berjalan perlahan menuju ranjang dan kembali dengan posisi orang sakit. Aku menyandarkan kepalaku di bantal, berusaha meyakinkan kalau kejadian tadi hanya khayalan semata, tidak nyata. Aku meyakinkan pada diriku kalau aku mengalami gangguan saraf, dan pada saat besok bangun aku akan menjadi manusia baru. Seutuhnya.

No comments:

Post a Comment